Kamis, 04 Juni 2009

HUNAIN DAN THA'IF

Malik b. ‘Auf menghasut

DENGAN perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena kemenangan besar ini tidak banyak minta kurban. Setiap terdengar suara Bilal mengucapkan azan sembahyang, cepat-cepat mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebutan di sekitar Rasulullah, dimana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.

Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah mulai stabil, dan bahwa perjuangan sebagian besar sudah membawa kemenangan. Akan tetapi limabelas hari kemudian setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah, Kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan Muslimin yang telah membebaskan Mekah dan menghancurkan berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran; pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh mereka apa yang harus mereka lakukan dalam mencegah bencana yang akan menimpa mereka itu. dan membendung Muhammad serta mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka semua digabungkan kedalam suatu kesatuan di bawah naungan Islam.

Untuk itu Malik b. ‘Auf dari Banu Nashr sekarang berusaha mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian juga kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua ikut, kecuali Ka’b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada orang yang bernama Duraid bin’sh-Shimma, orang yang sudah berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat ikut berperang, tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya pengalaman dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan. Kabilah-kabilah itu semua berkumpul, membawa serta harta-benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka menuju dataran Autas. Bilamana dengusan unta, keledai yang melengking, tangisan anak dan kambing yang mengembik-embik sampai ke telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik b. ‘Auf:

“Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta dalam peperangan?”

Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna memberi semangat kepada angkatan perangnya.

“Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa mencegahnya?” kata Duraid lagi. “Kalau harus menang juga, maka yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya; sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan hartamu hanya akan membawa bencana.”

Dengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banyak ikut Malik. Dia seorang pemuda berusia tigapuluh tahun, bersemangat dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.

Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke puncak gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang, sehingga dengan serangan satu orang saja barisan mereka akan sudah jadi lemah, mereka akan kucar-kacir, akan saling menghantami sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur, pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah takkan berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam menghadapi kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik ditaati oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di selat wadi itu.

Muslimin berangkat ke Hunain

Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu tinggal di Mekah, dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat pula cepat-cepat. Mereka bergerak dalam jumlah duabelas ribu orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka yang telah menyerbu dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri dari orang-orang Quraisy yang sudah Islam – di antaranya Abu Sufyan b. Harb. Mereka semua mengenakan pakaian berlapis besi didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya masing-masing, tampil kedepan dengan hati bangga karena jumlah yang begitu besar, yang tidak akan dapat dikalahkan. Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada yang berkata: Karena jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat dikalahkan.

Serangan Hawazin dan Thaqif

Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai di Hunain. Di pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana sampai waktu fajar keesokan harinya. Ketika itulah pasukan mulai bergerak lagi. Muhammad mengikuti dari belakang dengan menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin’lWalid yang memimpin Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba datanglah serangan mendadak secara bertubi-tubi dari pihak kabilah-kabilah dengan komando Malik b. ‘Auf. Sementara masih dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah dihujani panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi kacau-balau. Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka berbalik surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya. Dalam hal ini, dengan senyum gembira di bibir – Abu Sufyan yang sekarang melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat mengalahkan Quraisy itu – berkata “Mereka takkan berhenti lari sebelum sampai ke laut.”

Begitu juga Syaiba b. ‘Uthman b. Abi Talha berkata: “Sekarang aku dapat membalas Muhammad.” Berkata begitu, karena bapanya telah terbunuh dalam perang Uhud.

Ketika Kalada b. Hanbal berkata: “Ya, sihirnya sekarang sudah tidak mempan,” dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri: “Diam kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di bawah Hawazin.”

Muslimin kucar-kacir

Percakapan demikian itu terjadi sementara keadaan pasukan perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah yang sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian di hadapan Nabi yang berada di belakang – tanpa melihat ke kanan kiri lagi.

Apa kiranya yang diperbuatnya? Mungkinkah pengorbanan yang duapuluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu saja pada pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah tidak lagi memberikan pertolongan? Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin! Sebelum itu, sudah ada bangsa-bangsa yang sudah punah, golongan-golongan yang sudah tak ada lagi. Sebelum itu pun Muhammad sudah biasa bergumul dengan maut, dan kalau-kalau dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan ada. Dan apabila ajal itu sudah datang tidak akan dapat sedetik pun ditunda atau dimajukan.

Muhammad tetap tabah tiada bergerak di tempatnya. Beberapa orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya tetap berada di sekelilingnya.

Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang yang melarikan diri lewat di hadapannya itu seraya katanya: “Hai orang-orang! Kamu mau ke mana? Mau ke mana?”

Tetapi, orang-orang yang sudah penuh ketakutan itu sudah tidak mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata mereka hanya Hawazin dan Thaqif yang kini sedang meluncur turun dari perkubuan di puncak-puncak gunung mengejar mereka. Dan gambaran mereka itu tidak salah. Pihak Hawazin sudah mulai turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di atas seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam yang dipancangkan pada sebilah tombak panjang. Setiap ia bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada mereka, sementara pihak Hawazin, Thaqif dan sekutu-sekutunya terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam.

Semangat baru timbul dalam hati Muhammad. Dengan bagalnya yang putih itu ia ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Sesudah itu terserah kepada Tuhan. Akan tetapi Abu Sufyan b. Harith b. ‘Abd’l-Muttalib segera menahan kekang bagal itu dan dimintanya jangan dulu maju.

Abbas b. ‘Abd’l-Muttalib seorang laki-laki yang berperawakan besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru yang kira-kira akan dapat didengar oleh semua orang dari segenap penjuru: “Saudara-saudara dari kalangan Anshar yang telah memberikan tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang telah memberikan ikrar di bawah pohon! Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup!”

Muslimin kembali bertempur

Seruan demikian itu diulang-ulangnya oleh Abbas, sehingga suaranya bersipongang dan bergema ke segenap penjuru wadi. Disinilah adanya mujizat itu: Orang-orang ‘Aqaba mendengar nama ‘Aqaba, teringat oleh mereka Muhammad, teringat akan janji dan kehormatan diri mereka. Demikian juga orang-orang Muhajirin, begitu mendengar nama Muhajirin, teringat oleh mereka akan pengorbanan mereka selama ini, teringat akan kehormatan diri mereka. Mereka itu sudah mendengar dan mengetahui tentang ketenangan dan ketabahan hati Muhammad, disamping sejumlah kecil orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang sama tabahnya seperti ketika Perang Uhud dulu – dalam menghadapi musuh yang begitu besar. Dalam hati mereka kini terbayang betapa akibatnya kemenangan orang-orang musyrik itu terhadap agama Allah kelak sekiranya mereka ini sekarang gagal.

Seruan Abbas yang selama itu masih tetap berkemandang dalam telinga, hati mereka sekaligus tersentak karenanya. Ketika itulah mereka saling menyambut dari segenap penjuru: “Labbaika,1 Labbaika! “

Mereka-semua kini kembali, dan bertempur lagi secara heroik sekali.

Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula, sekarang sudah berhadapan muka dengan Muslimin dalam lembah itu. Sinar siang sudah mulai tampak dan remang pagi dengan sendirinya menghilang. Di sarnping Rasulullah sekarang sudah berkumpul beberapa ratus orang siap akan berhadapan dengan kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka ini bertambah juga. Dan dengan kembalinya mereka itu, semangat yang tadinya sudah lemah kini kembali berkobar-kobar. Pihak Anshar sendiri berteriak: “Hai Anshar!” Lalu mereka saling memanggil-manggil: “Hai Khazraj!”

Perasaan lega mulai terasa oleh Muhammad tatkala dilihatnya mereka kini kembali lagi.

Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran itu berkobar dengan pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak buahnya makin tinggi dalam memukul lawan, ia berkata: “Sekarang pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi janji kepada RasulNya.”

Kemenangan Muslimin

Kepada Abbas dimintanya segenggam batu kerikil dan kemudian kerikil itu dilemparkannya ke muka musuh seraya katanya: “Wajah-wajah yang buruk!” Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi menghiraukan maut demi di jalan Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti datang dan barang siapa gugur ia akan mendapat kemenangan yang lebih besar lagi daripada hidup. Perjuangan ketika itu hebat sekali. Baik Hawazin maupun Thaqif dan pengikut-pengikutnya, begitu melihat bahwa setiap perlawanan ternyata tidak berhasil, bahkan mereka sendiri terancam akan habis samasekali, cepat-cepat mereka lari dalam keadaan berantakan tanpa melihat ke kanan-kiri lagi, dengan meninggalkan wanita-wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di tangan kaum Muslimin, yang ketika itu dihitung sebanyak 22.000 ekor unta, 40.000 kambing dan 4.000 ‘uqiya2 perak. Sedang tawanan perang yang terdiri dari 6.000 orang itu telah dipindahkan dengan pengawalan ke Wadi Ji’rana. Mereka ditempatkan disana sementara menunggu Muslimin kembali dan mengejar sisa-sisa musuh serta sekaligus mengepung pihak Thaqif di Ta’if.

Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap musuh mereka itu. Lebih tertarik lagi mereka mengadakan pengejaran itu karena Rasul mengumumkan, bahwa barang siapa dapat menyerbu orang musyrik, maka ia boleh merampasnya. Ketika itu Rabi’a bin’d-Dughunna telah dapat mengejar seekor unta yang membawa pelangkin, yang diduganya berisi wanita; ia pun ingin merampasnya. Unta itu berlutut dan ternyata isinya seorang laki-laki tua yang oleh pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu Duraid bin’sh-Shimma. Kepada Rabi’a itu Duraid bertanya: Mau diapakan dirinya. “Akan kubunuh kau,” jawabnya, sambil mengayunkan pedang. Tetapi tidak berhasil.

“Jahat sekali ibumu mempersenjataimu!” kata Duraid. “Ambillah pedangku di belakang itu dan pukulkan. Keluarkan tulang dan otaknya. Begitulah aku menghantam orang dengan pedang itu. Dan kalau kau sudah pulang, katakan kepada ibumu bahwa engkau telah membunuh Duraid bin’sh-Shimma. Sudah sering sekali aku melindungi wanita-wanitamu.”

Sesampainya di rumah, oleh Rabi’a hal itu diceritakan kepada ibunya.

“Dasar tangan celaka kau,” kata ibunya. “Dia mengatakan itu hanya akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya kepada engkau. Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu pagi: Yaitu aku, ibuku dan ibu ayahmu.”

Pengejaran terhadap pihak Hawazin oleh pihak Muslimin diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur dam dihancurkan samasekali. Kaum wanita dan barang-barang mereka dirampas lalu dibawa kepada Muhammad. Malik b. ‘Auf hanya sebentar saja bertahan kemudian ia pun lari, dia bersama-sama dengan kabilahnya dan golongan Hawazin, dan di Nakhla ia berpisah dengan mereka. Ia memutar haluan ke Ta’if dan di tempat ini ia berlindung.

Kehancuran total pihak Musyrik

Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang beriman itu dan nyata pula kehancuran total orang-orang musyrik, setelah remang-remang subuh itu pihak Muslimin dalam keadaan terancam, mendapat serangan serentak sehingga mereka menjadi kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang sangat menentukan itu ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil orang-orang di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:

“Tuhan telah menolong kamu pada beberapa tempat dan dalam Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa amat sempit buat kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah itu Tuhan menurunkan perasaan tenang kepada Rasul dan kepada orang-orang beriman serta diturunkanNya pula balatentara yang tidak kamu lihat, dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan memang itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu kemudian Allah menerima taubat barangsiapa yang dikehendakiNya, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor. Sebab itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci, dan kalau kamu kuatir menjadi miskin, maka Tuhan dengan kurniaNya akan memberikan kekayaan kepada kamu, jika dikehendaki. Sesungguhnya Tuhan Maha tahu dan Bijaksana.” (Qur’an, 9: 25-28)

Harga sebuah kemenangan

Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh dengan harga murah oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang cukup mahal. Mungkin ini tidak akan mereka lakukan, kalau tidak karena pada mulanya mereka telah mengalami kegagalan lari dalam kekalahan, sehingga seperti dikatakan oleh Abu Sufyan “Mereka takkan berhenti lari sebelum mencapai laut.” Mereka membayar harga mahal itu dengan jiwa orang-orang penting dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran itu, meskipun jumlah semua kurban tidak disebutkan dalam buku-buku biografi Nabi. Seperti sudah disebutkan, bahwa dua kabilah Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah mendoakan semoga Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimana pun juga nyatanya ia telah mendapat kemenangan: kemenangan total yang diperoleh Muslimin terhadap lawan mereka, disertai rampasan dan tawanan perang, yang sebelum itu tidak pernah mereka alami. Kemenangan adalah segalanya dalam suatu pertempuran, betapa pun besarnya harga yang harus dibayar, selama itu merupakan suatu kemenangan terhormat. Dengan demikian Muslimin merasa gembira sekali akan kurnia yang telah diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang. Akan tetapi Muhammad menginginkan suatu kemenangan yang lebih cemerlang lagi. Kalau Malik b. ‘Auf yang telah mengerahkan orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan ia sendiri mencari perlindungan pada pihak Thaqif di Ta’if, maka pihak Muslimin sekarang hendaknya dapat mengepung Ta’if lebih ketat lagi. Begitu itulah cara dalam Khaibar setelah perang Uhud, dan terhadap Quraiza setelah Khandaq. Mungkin suasana ini mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi ke Ta’if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi dia malah dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu, sehingga terpaksa ia berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga mungkin ia teringat betapa benar ia berangkat seorang diri ketika itu, dalam keadaan sangat lemah, tiada daya upaya selain Tuhan, selain iman yang besar yang telah memenuhi dadanya, iman yang telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang, sekarang ia berangkat menuju Ta’if dengan sebuah rombongan Muslimin, dengan suatu jumlah yang belum pernah disaksikan sepanjang sejarah jazirah itu.

Ta’if dikepung

Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat ke Ta’if dan mengepung Thaqif yang dipimpin oleh Malik b. ‘Auf. Ta’if adalah sebuah kota yang sangat kukuh tertutup rapat oleh pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota negeri Arab ketika itu. Penduduk kota ini sudah punya pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dalam peperangan dan punya kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perkubuan yang kuat. Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik b. ‘Auf, yang kemudian mereka hancurkan, demikian juga sebuah kebun kepunyaan pihak Thaqif mereka hancurkan selama dalam perjalanan itu.

Bilamana Muslimin sudah sampai di Ta’if, Nabi memerintahkan pasukannya berhenti dan bermarkas di dekat kota itu. Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan mereka lakukan. Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari atas perbentengan, dihujaninya mereka dengan serangan panah, sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang terbunuh. Dan tidak pula mudah kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus mereka tempuh bukan seperti yang selama ini mereka lakukan ketika mengepung Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalau hanya dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thaqif itu akan mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu saja, dengan cara baru bagaimana harus mereka lakukan?

Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan waktu. Jadi sebaiknya pasukan ini harus ditarik mundur jauh-jauh dari sasaran panah, supaya jangan ada lagi orang-orang Islam yang akan mengalami bencana dan tewas karenanya. Sesudah itu boleh Muhammad memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Dengan perintah Nabi ‘a.s. markas itu sekarang dipindahkan jauh dari sasaran panah, dipindahkan ke sebuah tempat yang kemudian setelah Ta’if menyerah dan menerima Islam dibangunnya mesjid Ta’if di tempat itu. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Anak panah Thaqif sudah menewaskan delapanbelas orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat luka-luka, diantaranya salah seorang anak Abu Bakr. Disamping tempat itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk tempat-tinggal kedua isteri Nabi – Umm Salama dan Zainab – yang sejak ia meninggalkan Medinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan menghadapi peristiwa-peristiwa itu. Diantara kedua kemah inilah Muhammad melakukan salat. Dan agaknya Mesjid Ta’if itu pun di tempat ini pula dibangun.

Diserang dengan manjaniq

Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang akan ditentukan Tuhan terhadap mereka dan terhadap lawan mereka itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata kepada Nabi: Orang-orang Thaqif yang dalam benteng itu sama seperti rubah yang di dalam liangnya. Untuk dapat mengeluarkan mereka meminta waktu lama. Kalau dibiarkan saja, juga ia takkan mengganggu. Tetapi Muhammad sudah tidak mau kembali lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu Daus [salah satu kabilah yang tinggal di bawah Mekah] yang sudah berpengalaman dalam menggunakan manjaniq3 dan “tank,”4 salah seorang pemimpinnya adalah Tufail, yang sudah bersahabat dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang sekarang ikut pula mengepung Ta’if. Orang ini oleh Nabi diutus memintakan bantuan kepada kabilahnya itu.

Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang dari golongan itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di Ta’if empat hari kemudian setelah kota itu dikepung oleh Muslimin. Disinilah pihak Muslimin menyerang Ta’if dengan manjaniq, dan beberapa orang menyerbu dengan masuk ke dalam “tank” untuk menerobos dinding-dinding benteng itu. Tetapi pihak Ta’if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka dapat memaksa lawannya harus melarikan diri juga. Beberapa batang besi mereka panaskan; bilamana sudah mencair, besi itu dilemparkannya ke arah “tank” dan alat itu pun terbakar. Karena takut terbakar juga tentara Muslirnin pun menyusup lari dari bawah alat-alat itu. Oleh pihak Thaqif mereka terus diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.

Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil. Pihak Muslimin tidak dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.

Kebun anggur ditebang dan dibakar

Sesudah itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah ia sudah dapat mengalahkan dan mengosongkan Banu Nadzir dari perkampungannya dengan jalan membakar kebun kurma mereka? Sekarang kebun anggur Ta’if jauh lebih berharga daripada kebun kurma Banu Nadzir Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di seluruh tanah Arab yang membuat Ta’if bangga sebagai tempat yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta’if seolah surga di tengah-tengah padang sahara.

Perintah Muhammad oleh kaum Muslimin sudah akan dilaksanakan. Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur itu – yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga. Melihat hal ini orang-orang Thafiq yakin sekali bahwa Muhammad memang bersungguh-sungguh. Mereka mengutus orang kepadanya supaya kebun itu diambil saja kalau mau, kalau tidak supaya dibiarkan mengingat pertalian keluarga antara dia dengan mereka yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan hal itu, dan kemudian ia berseru kepada kalangan Thaqif, bahwa barangsiapa dari penduduk Ta’if yang bersedia datang kepadanya, orang itu akan dimerdekakan. Hampir sebanyak duapuluh orang dari mereka lalu melarikan diri dan datang kepadanya. Dari mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam benteng-benteng itu terdapat persediaan makanan yang cukup untuk waktu lama. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa pengepungan ini akan meminta waktu yang panjang, sedang pasukannya sudah mau pulang akan membagi-bagikan barang rampasan perang yang sudah mereka peroleh. Kalau diminta supaya mereka tetap tinggal juga, mungkin mereka akan kehilangan kesabaran. Disamping itu bulan suci pun sudah dekat pula dan perang tidak diperkenankan.

Oleh karena itu ia lebih senang pengepungan itu dibubarkan saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu bulan Zulhijah, bulan muda sudah keluar. Dengan pasukannya itu ia kembali hendak melakukan umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah bersiap hendak ke Ta’if bila bulan suci sudah lalu.

Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sekarang berangkat meninggalkan Ta’if menuju Ji’rana, tempat barang rampasan dan tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti mengadakan pembagian. Seperlima di antaranya oleh Rasul dipisahkan buat dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji’rana ini, tiba-tiba datang utusan dari pihak Hawazin yang sudah masuk Islam. Mereka ini mengharapkan, supaya harta mereka, wanita dan anak-anak dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula mereka mengalami kepahitan hidup. Utusan itu datang menemui Muhammad. Salah seorang dari mereka berkata: “Rasulullah, di tempat-tempat berpagar,5 orang-orang tawanan itu terdapat juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu, ibu-ibu yang dulu pernah memeliharamu. Jika sekiranya kami yang menyusui Harith b. Abi Syimr atau Nu’man bin’l-Mundhir, kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang kaualami sekarang ini, tentu kami manfaatkan dan kami mintai belas-kasihannya. Konon pula engkau, yang sudah mendapat pemeliharaan yang terbaik.”

Mereka tidak salah dalam mengingatkan Muhammad akan adanya hubungan dan pertalian keluarga itu. Dari kalangan tawanan perang itu terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut mendapat perlakuan keras dari tentara Muslimin. Wanita itu berkata kepada mereka: “Kamu tahu, bahwa aku masih saudara susuan dengan kawanmu itu.”

Karena mereka tidak percaya, oleh mereka ia dibawa kepada Muhammad, yang ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu Syaima’ bint’l-Harith ibn ‘Abd’l-Uzza. Dimintanya ia kedekatnya dan dihamparkannya mantelnya supaya ia duduk. Ia dipersilakan memilih – kalau senang tinggal, boleh tinggal dan kalau ingin pulang akan diantarkan kepada kabilahnya. Tetapi ternyata wanita itu ingin pulang juga kepada masyarakatnya sendiri.

Meningkat hubungan Muhammad dengan mereka yang datang menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa, sudah wajar sekali apabila ia bersikap penuh kasih sayang kepada mereka dan memenuhi pula permintaan mereka. Sejak dahulu memang demikian inilah sifatnya, kepada siapa saja yang pernah mengulurkan tangan kepadanya. Tahu berterima kasih dan mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.

Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia bertanya: “Anak-anak dan isteri-isteri kamu ataukah harta kamu yang lebih kamu sukai?”

“Rasulullah,” jawab mereka, “kami disuruh memilih antara harta dengan sanak keluarga kami? Mengembalikan isteri-isteri dan anak-anak kami tentu itulah yang kami sukai.”

Lalu kata Nabi ‘a.s.; “Apa yang ada padaku dan pada Banu ‘Abd’l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu. Bilamana nanti sudah selesai aku memimpin orang salat lohor hendaklah kamu berdiri dan katakan: ‘Kami meminta bantuan Rasulullah kepada kaum Muslimin dan meminta bantuan kaum Muslimin kepada Rasulullah mengenai anak-anak kami dan wanita-wanita kami.’ Maka ketika itu akan kuserahkan kepadamu, dan akan kumintakan buat kamu.”

Setelah apa yang diucapkan Nabi itu dilaksanakan oleh Hawazin, ia berkata lagi: “Apa yang ada padaku dan pada Banu ‘Abd’l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu.”

Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata: “Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah.”

Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum Anshar.

Tetapi Aqra’ ibn Habis atas nama Tamim dan ‘Uyaina b. Hishn menolak, demikian juga Abbas b. Mirdas atas nama Banu Sulaim. Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas itu. Dalam hal ini Nabi berkata: “Barangsiapa mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka untuk setiap orang ia akan mendapat ganti enam bagian dari tawanan yang mula-mula didapat.”

Tawanan Hawazin dikembalikan

Dengan demikian wanita-wanita dan anak-anak Hawazin itu dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan diri masuk Islam. Kepada utusan Hawazin itu Muhammad menanyakan Malik b. ‘Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih di Ta’if dengan Thaqif, dimintanya kepada mereka supaya disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam, maka keluarga dan harta bendanya akan dikembalikan dan akan diberi pula seratus ekor unta.

Sekarang orang mulai merasa kuatir – kalau Muhammad memberikan ini kepada setiap utusan yang datang – rampasan perang yang menjadi bagian mereka akan jadi berkurang. Oleh karena itu mereka mendesak supaya tiap-tiap orang mengambil bagiannya. Dan mereka terus saling berbisik. Bisikan demikian ini tampaknya sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu berdiri di samping seekor unta, diambilnya seutas bulu dari ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan ke atas ia berkata:

“Saudara-saudara.6 Demi Allah! Bagianku dari harta rampasan dan dari bulu ini hanya seperlima; ini pun sudah dikembalikan kepada kamu.” Kemudian dimintanya kepada mereka masing-masing supaya harta rampasan itu dikembalikan dan dengan demikian dapat dibagi secara adil. “Barangsiapa mengambil ini secara tidak adil sekalipun hanya sebentar jarum, maka buat yang bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat.”

Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah setelah mantelnya yang mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada mereka: “Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah, andaikata kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini, tentu kubagi-bagikan kepada kamu, kemudian akan kamu lihat bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong.”

Kemudian rampasan perang itu dibagi lima dan yang seperlima diberikan kepada mereka yang paling sengit memusuhinya. Seratus ekor unta diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan dan Mu’awiya anaknya, Harith bin’l-Harith b. Kalada, Harith b. Hasyim, Suhail b. ‘Amr, Huwaitib b. ‘Abd’l-’Uzza, kepada bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa pemuka kabilah yang telah mulai lunak hatinya setelah pembebasan Mekah. Kepada mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang tadi, diberi lima puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan sikap sangat ramah dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya sangat memusuhinya, lidah mereka telah berbalik jadi memujinya. Tiada seorang dari mereka yang perlu diambil hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya

Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa ekor unta ia tidak senang hati dan mencela karena menurut anggapannya ‘Uyaina, Aqra’ dan yang lain tampaknya lebih diutamakan. Lalu Nabi berkata: “Temui dia dan berilah lagi supaya dia puas dan diam.”7 Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat dia diam.

Akan tetapi tindakan Nabi mengambil hati orang-orang yang tadinya merupakan musuh besar itu, telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan Anshar, dan satu sama lain mereka berkata: “Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri.” Dalam hal ini Sa’d b. ‘Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka itu

“Sekarang kumpulkan masyarakatmu di tempat berpagar ini,”8 kata Nabi. Setelah oleh Sa’d mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang, maka terjadi dialog berikut:

Muhammad: “Saudara-saudara kaum Anshar. Suatu desas-desus9 berasal dari kamu yang telah disampaikan kepadaku itu merupakan suatu perasaan yang ada dalam hatirnu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan memberikan kecukupan kepadamu, kamu dalam permusuhan, Tuhan mempersekutukan kamu?”

Anshar: “Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah hati.”

Muhammad: “Saudara-saudara kaum Anshar. Kamu tidak menjawab kata-kataku?”

Anshar: “Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah dan Rasul-Nya juga.”

Muhammad: “Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan – kamu benar dan pasti dibenarkan: ‘Engkau datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu. Engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu. Engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat. Engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.’ Saudara-saudara dari Anshar! Adakah sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu golongan supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar, apabila orang-orang itu pergi membawa karnbing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Anshar. Allahuma ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar.”

Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan, penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada mereka yang pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu, sehingga orang-orang Anshar pun menangis, sambil berkata, “Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami.”

Dengan demikian Nabi telah memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta yang telah diperoleh sebagai rampasan perang di Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah ada suatu rampasan perang diperoleh sebanyak itu. Ia memperlihatkan ketidaksukaannya pada harta itu sebagai langkah dalam mengambil hati mereka – yang dalam beberapa minggu yang lalu masih musyrik – dapat melihat bahwa dalam agama yang baru itu ada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah bermurah hati kepada mereka yang perlu dijinakkan itu, namun dengan demikian ia telah memperlihatkan sikap yang adil, pandangan yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang Arab ini – semua dengan senang hati, dengan perasaan lega – bersedia memberikan nyawanya demi jalan Allah.

Selanjutnya Rasul pun berangkat dari Ji’rana menuju Mekah, hendak menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk ‘Attab b. Asid sebagai tenaga pengajar untuk Mekah dengan didampingi oleh Mu’adh b. Jabal guna mengajar orang-orang memperdalam agama dan mengajarkan Qur’an.

Ia kembali pulang ke Medinah bersama orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara Nabi tinggal di kota ini lahir pula anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu, setelah agak merasakan adanya ketenangan hidup, kemudian ia pun harus bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.

Catatan kaki:

1 Harfiah, ‘kupenuhi panggilanmu’, yakni aku siap (A).

2 ‘Uqiya. ‘Dahulu kala sama dengan 40 dirham (drakhma) dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni 1/12 bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri masing-masing’ (N). Pada umumnya ‘uqiya sekarang ditaksir sekitar 30 gram (A).

3 Sebuah pesawat pelempar batu (junuq). Mungkin sama dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan dahulu kala (A).

4 Aslinya, dabbaba; dabba melata perlahan-lahan, yakni semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk ke dalam alat tersebut lalu mendekat benteng yang sedang dikepung untuk dilubangi atau dibongkar dan mereka terlindung dan serangan yang datang dan atas (LA) mungkin dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu kala, dari bahasa Latin, berarti kura-kura atau kulitnya yang dapat melindungi badan. Dalam pengertian sekarang kira-kira sama dengan tank (A).

5 Hazira, ’segala yang dilingkungi sesuatu, kadang terdiri dari buluh dan papan’ (LA) yakni tempat berpagar (A).

6 Ayyuhan nas, harfiah: ‘Hai manusia’ (A).

7 Iqta’u anni lisanahu, yakni ‘berilah lagi supaya dia puas dan diam’ (LA) Harfiah, ‘potongkan lidahnya tentang aku’ (A).

8 Lihat catatan bawah halaman 531 (A).

9 Qalatun, ‘Banyak bicara yang akan menimbulkan permusuhan’ (N), yakni desas-desus (A).

PERANG MU'TAH

Perhatian Muhammad ke Syam

MUHAMMAD belum merasa perlu: tergesa-gesa membebaskan Mekah. Dia mengetahui sekali, bahwa hanya tinggal soal waktu saja. Perjanjian Hudaibiya baru setahun berjalan. Juga bukan maksudnya akan mengadakan pelanggaran. Muhammad orang yang sangat setia tiada sebuah kata yang pernah diucapkan atau perjanjian yang pernah dibuat, akan dilanggarnya. Oleh karena itu tatkala ia kembali ke Medinah selama beberapa bulan tidak terjadi bentrokkan-bentrokan, kecuali kecil-kecilan saja, seperti pengiriman 50 orang kepada Banu Sulaim dengan tugas dakwah mengajak mereka menganut Islam, yang kemudian dibunuh oleh Banu Sulaim secara gelap dan dengan tidak semena-mena, sehingga pemimpinnya yang berhasil lolos hanya karena kebetulan saja. Begitu juga Banu Laith dan Zafar yang telah menyerang dan merampas mereka itu. Sama pula dengan hukuman yang telah dijatuhkan kepada Banu Murra karena pengkhianatan mereka itu tadinya. Demikian juga adanya limabelas orang yang telah dikirim ke Dhat’t-Talh di perbatasan Syam dengan tugas dakwah mengajak mereka mengikut Islam, dibalas dengan pembunuhan juga, sehingga tak ada yang selamat kecuali pemimpinnya.

Memang perhatian Nabi tertuju ke wilayah Syam dan bagian-bagian utara ini, yaitu setelah di bagian selatan diadakan perjanjian keamanan dengan pihak Quraisy dan setelah penguasa di Yaman bersedia menerima seruannya. Jalur penyebaran dakwah Islam yang pertama setelah keluar dari semenanjung Arab sudah dibayangkannya. Dilihatnya bahwa Syam dan daerah-daerah di dekatnya itu merupakan pintu pertama jalur dakwah itu. Oleh karena itu beberapa bulan kemudian sekembalinya dari umrah ia telah mengerahkan tiga ribu orang yang kemudian di Mu’ta berhadapan dengan seratus ribu orang pasukan lawan.

Ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat mengenai sebab-musabab terjadinya ekspedisi Mu’ta itu. Sebagian mengatakan bahwa dibunuhnya sahabat Nabi di Dhat’t-Talh itulah yang menyebabkan adanya penyerbuan sebagai hukuman atas mereka yang telah berkhianat itu, yang lain berpendapat bahwa ketika Nabi mengirim seorang utusan kepada gubernur Heraklius di Bushra (Bostra), utusan itu dibunuh oleh orang badwi, dari Ghassan, atas nama Heraklius. Lalu Muhammad mengirimkan mereka yang sedang berperang di Mu’ta supaya memberi hukuman kepada penguasa itu dan siapa saja yang membantunya.

Kalau Perjanjian Hudaibiya merupakan pendahuluan ‘umrat’l-qadza’, lalu pembebasan Mekah, maka ekspedisi Mu’ta ini juga merupakan pendahuluan Tabuk; dan setelah Nabi wafat kemudian terjadi pembebasan Syam. Soalnya akan sama saja; yang menimbulkan ekspedisi Mu’ta itu karena dibunuhnya utusan Nabi kepada penguasa Bushra, atau karena lima belas orang sahabatnya yang juga dibunuh di Dhat’t-Talh.

Mengerahkan 3000 orang

Dalam bulan Jumadilawal tahun kedelapan Hijrah [tahun 629 M.] Nabi ‘a.s. memanggil tiga ribu orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid b. Haritha dengan mengatakan: “Kalau Zaid gugur, maka Ja’far b. Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja’far gugur, maka Abdullah b. Rawaha yang memegang pimpinan.

Ketika pasukan tentera ini berangkat Khalid bin’l-Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan itikad baiknya sebagai orang Islam. Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon. Nabi ‘a.s. mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata: Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat.

Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.

Pasukan Rumawi

Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma’ab di bilangan Balqa’, terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra’ dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.

Ketika pihak Muslimin berada di Ma’an, adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar. Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada Rasulullah s.a.w. dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus. Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata: “Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justeru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid.”

Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar!

Dua pasukan bertemu

Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa’, di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu’ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu’ta inilah pertempuran sengit – antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu tentara Muslimin – mulai berkobar.

Zaid b. Haritha sebagai panglima

Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid b. Haritha dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati disini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far b. Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu. Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena.

Ja’far b. Abi Talib

Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya; dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia tewas. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.

Abdullah b. Rawaha

Setelah Ja’far tewas bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu. Sementara itu terpikir olehnya akan turun saja. Ia nmasih agak ragu-ragu. Kemudian katanya:

O diriku, bersumpah aku

Akan turun engkau, akan turun

Atau masih terpaksa juga

Jika orang sudah berperang dan genderang sudah berkumandang

Kenapa kulihat kau masih membenci surga?

Kemudian diambilnya pedangnya dan dia maju terus bertempur sampai akhirnya dia pun tewas juga.

Mereka itulah Zaid, Ja’far dan Ibn Rawaha. Mereka bertiga telah mati syahid di jalan Allah, dalam satu peristiwa. Tetapi setelah berita ini diketahui oleh Nabi, ia sangat terharu sekali, terutama terhadap Zaid dan Ja’far. Lalu katanya : Mereka telah diangkat kepadaku di surga – seperti mimpi orang yang sedang tidur – diatas ranjang emas. Lalu saya lihat ranjang Abdullah b. Rawaha agak miring daripada ranjang kedua temannya itu. Lalu ditanya: Kenapa begitu? Dijawabnya: Yang dua orang terus maju, tapi Abdullah agak ragu-ragu. Kemudian terus maju juga.

Orang sudah melihat teladan dan nasehat yang baik ini! Tidak lain ini artinya, bahwa seorang mukmin tidak boleh ragu-ragu atau takut mati di jalan Allah. Bahkan sebaliknya, setiap ia menghadapi sesuatu persoalan ia harus yakin bahwa itu untuk Tuhan dan tanah-air, ia harus menggenggam hidupnya di tangan, siap dilemparkan ke muka siapa saja yang akan merintanginya dari jalan itu. Salah satu: dia menang dan berhasil mencapai kebenaran Tuhan dan tanah-air, seperti yang sudah menjadi keyakinannya, atau ia gugur sebagai syahid. Ini adalah suatu teladan yang hidup bagi angkatan kemudian, dan suatu kenangan abadi buat jiwa besar yang bisa mengerti, bahwa harga hidup itu ialah hidup yang dikurbankan untuk tujuan cita-citanya; bahwa mempertahankan hidup dalam hina seperti menyia-nyiakan hidup. Orang semacam itu tidak perlu lagi nanti dikenang dalam hidup kita. Ada orang yang menerjunkan diri ke dalam bahaya bila terasa hidupnya terancam demikian rupa sehingga ia pun menjadi kurban tujuan yang tidak berharga. Begitu juga ia berarti mengorbankan diri jika ia masih mempertahankan hidupnya padahal oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ia diminta supaya hidupnya dilemparkan ke muka kebatilan, supaya dapat menghancurkan kebatilan itu. Tetapi ia lalu bersembunyi di balik tabir, ia sudah takut menghadapi maut, suatu perasaan takut yang sebenarnya lebih celaka daripada maut.

Jadi kalau sikap ragu-ragu yang hanya sedikit saja tampak pada Ibn Rawaha, padahal sesudah itu, dengan keberanian yang luarbiasa ia pun bertempur lagi sampai mati sebagai syahid masih ditempatkan tidak sama dengan Zaid dan Ja’far yang menyerbu barisan maut dengan gembira menghadapi mati sebagai syahid, apalagi buat orang yang lalu berbalik surut hanya karena mengharapkan kedudukan atau harta atau sesuatu tujuan duniawi lainnya ! Kalau begitu tidak lebih dia hanyalah serangga yang hina saja, meskipun kedudukannya di muka orang banyak sudah tinggi dan hartanya sudah melampaui harta karun. Benarlah jiwa manusia itu baru merasa gembira apabila ia sudah dapat berkurban untuk sesuatu yang diyakininya bahwa itu benar, sampai akhirnya ia pun gugur untuk.membela kebenaran itu, atau kebenaran itu dapat menguasai hidupnya!

Ibn Rawaha tewas setelah sebentar ragu-ragu lalu tampil lagi dengan keberanian yang luarbiasa. Sekali ini bendera diambil oleh Thabit b. Arqam [Banu 'Ajlan], yang kemudian berkata:

“Saudara-saudara kaum Muslimin. Mari kita mencalonkan salah seorang dari kita.”

Mereka segera menjawab: “Engkau sajalah.”

“Tidak, saya tidak akan mampu,”

Pimpinan di tangan Khalid bin’l-Walid

Kemudian pilihan mereka jatuh kepada Khalid bin’l-Walid. Diambilnya bendera itu oleh Khalid setelah dilihatnya barisan Muslimin mulai centang-perenang, kekuatan moril mereka mulai kendor. Khalid sendiri seorang jenderal yang cukup ulung, seorang penggerak militer yang tidak banyak bandingannya, Dengan demikian ia mulai memberikan komando. Barisan Muslimin dapat diaturnya kembali. Sekarang dalam menghadapi musuh itu sengaja ia membuat insiden-insiden kecil yang diulur-ulur sampai petang hari. Malamnya kedua pasukan itu tentu akan meletakkan senjata menunggu sampai pagi.

Siasat Khalid

Pada saat itulah Khalid mengambil kesempatan menyusun siasat perangnya. Anak buahnya dipencar-pencar demikian rupa dengan jumlah yang tidak kecil, dalam suatu garis memanjang, yang dikerahkan maju dari barisan belakang. Pagi-pagi bila orang sudah bangun, dirasakannya ada kesibukan dan hiruk-pikuk demikian rupa yang cukup menimbulkan perasaan gentar di kalangan musuh, dengan anggapan bahwa bala bantuan telah didatangkan dari pihak Nabi. Kalau jumlah tiga ribu orang itu pada hari pertama telah membuat peranan begitu besar terhadap pasukan Rumawi dan tidak sedikit pula jumlah mereka yang sudah terbunuh – meskipun tak dapat mereka pastikan – konon apa lagi yang akan dapat mereka lakukan dengan adanya bala bantuan yang baru didatangkan itu, dengan tiada orang yang mengetahui berapa besarnya!

Oleh karena itu pihak Rumawi jadi menjauhkan diri dari serangan Khalid dan senang sekali mereka kalau Khalid tidak sampai menyerang mereka. Tetapi sebenarnya Khalid lebih senang lagi. Ia dapat menarik mundur pasukannya, kembali ke Medinah, setelah mengalami suatu pertempuran yang tidak membawa kemenangan buat pasukan Muslimin, dan yang juga sama tidak membawa kemenangan buat lawan mereka itu.

Bilamana Khalid dan pasukannya sudah hampir sampai di Medinah, Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sudah pula bersama-sama menyongsong mereka. Atas permintaan Muhammad kemudian Abdullah b. Ja’far dibawa dan diangkatnya di depannya. Orang ramai datang menaburkan tanah kepada pasukan tentara itu seraya berkata:

“He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!”

Tapi Rasul segera berkata: “Mereka bukan pelarian. Tetapi mereka orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah.”

Sungguh pun sudah begitu rupa Muhammad menghibur orang-orang yang baru kembali dari Mu’ta itu, namun Muslimin belum mau juga memaafkan mereka karena penarikan mundur dan mereka kembali itu; sampai-sampai Salama ibn Hisyam tidak mau ikut sembahyang bersama-sama dengan Muslimin yang lain, kuatir masih akan terdengar suara-suara orang bila melihatnya: “He orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah.”

Kalau tidak karena adanya tindakan-tindakan yang berarti dari mereka yang kembali dari Mu,ta itu, terutama tindakan Khalid sendiri, niscaya Mu’ta masih akan dianggap suatu cemar karena pelarian yang telah dicontengkan saudara saudara seagania di kening mereka itu.

Muhammad menangisi para Syuhada

Begitu pedih perasaan duka itu menusuk hati Muhammad setelah diketahuinya Zaid dan Ja’far telah tewas. Begitu sedih ia menanggung dukacita karena mereka itu.

Setelah Ja’far mendapat malapetaka, Muhammad pergi sendiri ke rumahnya, dijumpainya isterinya Asma bt. ‘Umais yang pada waktu itu ia sudah membuat adonan roti, anak-anaknya sudah dimandikan, sudah diminyaki dan dibersihkan.

“Bawa kemari anak-anak Ja’far itu,” kata Muhammad kepadanya.

Setelah mereka dibawa, diciuminya anak-anak itu, dengan airmata yang sudah berlinangan.

“Rasulullah,” kata Asma’ gelisah; ia sudah merasa apa yang terjadi. “Demi ayah bundaku! Kenapa menangis, Rasulullah?! Ada hal-hal yang menimpa Ja’far dan kawan-kawannya barangkali?”

“Ya,” jawabnya. “Hari ini mereka tewas.” Berkata begitu airmatanya sudah makin tak dapat ditahan, deras berderai. Asma, juga lalu menangis keras-keras sehingga banyak wanita-wanita yang datang berkumpul.

Bila Muhammad pulang ia berkata kepada keluarganya: “Keluarga Ja’far jangan dilupakan. Buatkan makanan buat mereka. Mereka sekarang dalam kesusahan.” Ketika dilihatnya puteri Zaid – bekas budaknya itu – datang, dibelai-belainya bahunya sambil ia menangis. Ada sahabat-sahabat yang merasa terkejut melihat Rasul menangisi orang yang mati syahid itu. Lalu katanya, yang maksudnya: Tapi itu airmata seorang kawan yang kehilangan kawannya.

Ada sumber yang menyebutkan, bahwa jenazah Ja’far dibawa ke Medinah dan dikebumikan di sana tiga hari kemudian setelah Khalid dan pasukannya sampai. Sejak hari itu Rasul menyuruh orang supaya jangan lagi menangis. Kedua tangan Ja’far yang terputus, oleh Tuhan telah diganti dengan sepasang sayap yang menerbangkannya ke surga.

Ekspedisi Dhat’s-Salasil

Beberapa minggu kemudian setelah Khalid kembali, Muhammad bermaksud hendak mengembalikan pula kewibawaan Muslimin di bagian utara jazirah itu. Dalam hal ini ia menugaskan ‘Amr bin’l-’Ash supaya mengerahkan orang-orang Arab ke Syam. Memang demikian, sebab ibn ‘Amr ini berasal dari kabilah daerah itu. Tentu akan lebih mudah ia bergaul dengan mereka. Tetapi setelah ia sampai di sebuah pangkalan air di daerah kabilah Judham yang disebut Silsil, mulai ia merasa kuatir. Segera ia mengirim kurir kepada Nabi ‘alaihissalam meminta bantuan. Dan Nabi pun segera mengirim Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah dari kalangan Muhajirin yang mula-mula, termasuk Abu Bakr dan Umar. Sebagai orang yang masih baru dalam Islam, Muhammad kuatir ‘Amr akan berselisih dengan Abu ‘Ubaida sebagai anggota Muhajirin yang mula-mula, maka dipesannya kepada Abu ‘Ubaida ketika dilepaskan. Jangan berselisih.

***

“Engkau datang kemari sebagai pembantuku. Pimpinan tentara ditanganku,” kata ‘Amr kemudian kepada Abu ‘Ubaida.

Abu ‘Ubaida adalah orang yang sangat lemah-lembut, dan serba mudah dalam masalah-masalah duniawi.

“Rasulullah sudah berpesan,” katanya kepada ‘Amr “Kita jangan berselisih. Kalau engkau tidak taat kepadaku, akulah yang taat kepadamu.”

Dan dalam melakukan sembahyang jamaah juga ‘Amr yang menjadi imam.

Sekarang ia mulai bergerak maju memimpin pasukannya itu. Pihak Syam yang bermaksud hendak menggempurnya telah diubrak-abrik. Dengan demikian kewibawaan Muslimin di bilangan daerah itu telah dapat dipulihkan

Dalam pada itu Muhammad masih teringat juga pada Mekah dan segala sesuatunya. Akan tetapi, seperti sudah disebutkan, ia sangat memegang teguh isi Perjanjian Hudaibiya. Ia harus menunggu sampai habis waktu dua tahun. Sementara itu satuan-satuan tetap dikirimkan guna menjaga adanya pemberontakan kabilah-kabilah, yang berjiwa memang suka berontak itu. Tetapi hal ini tidak banyak makan tenaga. Utusan-utusan sudah berdatangan kepadanya dari segenap penjuru, mereka sudah menyatakan ketaatan dan kesetiaan yang penuh kepadanya. Hal inilah yang telah merupakan pengantar akan dibebaskannya Mekah serta akan kedudukan Islam yang kukuh di tempat ini, sebagai tempat yang paling disucikan untuk selama-lamanya.

UMROH QODLO'

Muslimin berangkat ke Mekah

SETELAH berjalan setahun sejak berlakunya isi perjanjian Hudaibiya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah bebas dapat melaksanakan isi perjanjian dengan pihak Quraisy itu guna memasuki Mekah dan berziarah ke Ka’bah. Atas dasar itu Muhammad lalu memanggil orang agar bersiap-siap untuk berangkat melakukan ‘umrat’l-qadza, (umrah pengganti) yang sebelum itu telah teralang.

Dengan mudah orang sudah dapat memperkirakan betapa kaum Muslimin menyambut panggilan itu. Ada diantara mereka kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Mekah, kaum Anshar yang sudah memang punya hubungan dagang dengan Mekah dan sudah rindu sekali hendak berziarah ke Ka’bah. Oleh karenanya anggota rombongan itu telah bertambah sampai duaribu orang dari 1400 orang pada tahun yang lalu. Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiya tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedangISTERI-ISTERI NABI tersarung. Tetapi Muhammad masih selalu kuatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslama disiapkan berangkat lebih dulu dengan ketentuan jangan melampaui Mekah, dan bila sampai di Marr’z-Zahran supaya mereka menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.

Ternak kurban itu digiring oleh kaum Muslimin didepan mereka, terdiri dari enampuluh ekor unta, didahului oleh Muhammad diatas untanya sendiri al-Qashwa’. Mereka berangkat dari Medinah dengan hati yang damba hendak memasuki Umm’l-Qura (Mekah) dan bertawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin menunggu ingin melihat daerah tempat ia dilahirkan, ingin melihat rumah tempat ia dibesarkan, teman-teman yang ditinggalkan. Ia ingin menghirup udara harum tanah airnya yang suci itu, dengan penuh rasa hormat dan syahdu’ ingin menyentuh bumi daerah suci dan kudus yang penuh berkah itu, yang telah melahirkan Rasul, dan tempat wahyu pertama kali diturunkan.

Orang akan dapat membayangkan suasana kemeriahan yang baru satu-satunya terjadi itu, yang bergerak karena di dorong oleh rasa iman, terbawa oleh Rumah yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Dengan mata hatinya orang akan melihat betapa besarnya rasa kegembiraan mereka itu. Orang-orang yang sudah pernah dirintangi hendak menunaikan kewajiban suci itu berangkat dengan penuh kegembiraan, akan memasuki Mekah dalam keadaan aman, dengan bercukur kepala atau bergunting tanpa merasa takut lagi.

Quraisy menyingkir dari Mekah

Bilamana Quraisy sudah mengetahui kedatangan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Mekah, sesuai dengan bunyi persetujuan Hudaibiya. Mereka pergi kebukit-bukit berdekatan dan di tempat itu mereka memasang kemah dan yang lain ada pula yang berteduh di bawah-bawah pohon. Dari atas bukit Abu Qubais dan dari atas Hira, atau dari semua tempat ketinggian yang dapat melihat ke Mekah, orang-orang Mekah itu menjenguk, dengan mata ingin tahu, ingin melihat orang yang dengan kawan-kawannya itu dulu terusir, ketika mereka kini datang memasuki Rumah Suci, tanpa ada lagi pihak yang mengalangi.

Muslimin di depan Ka’bah

Sekarang kaum Muslimin sudah mulai menyusur dari arah utara Mekah. Abdullah b. Rawaha ketika itu memegang tali keluan al-Qashwa’ sedang sahabat-sahabat besar lainnya berada di sekeliling Nabi ‘alaihissalam. Barisan yang berjalan di belakang mereka itu terdiri dari orang-orang yang berjalan kaki dan yang duduk di atas unta. Begitu Rumah Suci itu terlihat dihadapan mereka serentak kaum Muslimin itu semua bergema dalam satu suara berseru: Labbaika, labbaika! dengan hati dan jiwa tertuju semata kepada Allah Yang Maha Agung, berkeliling dalam satu lingkaran dengan penuh harap dan hormat kepada Rasul yang telah diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, yang akan mengatasi semua agama. Sebenarnya ini adalah suatu pemandangan yang sungguh unik dalam sejarah, yang dapat menggetarkan segenap penjuru tempat itu, dan yang telah dapat menawan hati orang musyrik ke dalam Islam, betapa pun kerasnya mereka bertahan pada paganisma.

Bertawaf di Ka’bah

Pada pemandangan yang unik itulah mata penduduk Mekah tertaut. Sementara suara yang keluar dari kalbu menggema: Labbaika, labbaika! tetap menembus telinga dan menggetarkan jantung mereka.

Sesampainya Rasul di mesjid ia menyelubungkan dan menyandangkan kain jubahnya di badan dengan membiarkan lengan kanan terbuka sambil mengucapkan: “Allahuma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.” (”Ya Allah, berikanlah rahmat kepada orang, yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya.”)

Kemudian ia menyentuh sudut hajar aswad (batu hitam) dan berlari-lari kecil, yang diikuti oleh sahabat-sahabat, juga dengan berlari-lari. Setelah menyentuh ar-rukn’l-yamani (sudut selatan) ia berjalan biasa sampai menyentuh hajar aswad, lalu berlari-lari lagi berkeliling sampai tiga kali dan selebihnya dengan berjalan biasa. Setiap ia berlari kedua ribu kaum Muslimin itu juga ikut berlari-lari, dan setiap ia berjalan mereka pun ikut pula berjalan. Dalam pada itu pihak Quraisy menyaksikan semua itu dari atas bukit Abu Qubais. Pemandangan ini sangat mempesonakan mereka. Tadinya orang bicara tentang Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, bahwa mereka sedang berada dalam kesulitan, dalam keadaan susah payah. Tetapi apa yang mereka lihat sekarang ternyata menghapus segala anggapan tentang kelemahan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu.

Karena bersemangatnya dalam saat seperti itu, Abdullah b. Rawaha bermaksud hendak melontarkan kata-kata yang berisi teriakan perang ke muka Quraisy. Tetapi segera dilarang oleh Umar, dan Rasul juga berkata kepadanya: “Sabarlah, Ibn Rawaha; atau ucapkan sajalah: La ilaha illa Allah wahdah, wanashara abdah wa’a'azza jundah, wakhadhala’l-ah-zaba wahdah.” (”Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal, Yang telah menolong hambaNya, memperkuat tentaraNya dan menghancurkan Sendiri musuh yang bersekutu.”)

Abdullah ibn Rawaha kemudian mengucapkan pula dengan suara keras yang kemudian disambut oleh kaum Muslimin. Suara itu bersahut-sahutan dan berkumandang ke tepi-tepi wadi dengan dahsyat sekali, kedahsyatannya membubung dan menyusup ke dalam jantung orang-orang yang sedang berada di atas gunung-gunung sekitar tempat itu.

Selesai kaum Muslimin bertawaf di Ka’bah, Muhammad berpindah memimpin mereka ke bukit Shafa dan Marwa yang di lalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali, seperti halnya orang Arab dahulu. Kemudian ternak kurban itu disembelih dan dia bercukur. Dengan demikian selesailah sudah ibadah umrah itu dikerjakan.

Keesokan harinya Muhammad memasuki Ka’bah dan tinggal disana sampai waktu sembahyang lohor. Pada waktu itu berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat itu. Tetapi meskipun begitu Bilal naik juga ke atap Ka’bah lalu menyerukan adhan untuk bersembahyang lohor di tempat tersebut. Kemudian Nabi bersembahyang dengan bertindak sebagai imam, atas duaribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya mereka teralang melakukan salat menurut pimpinan Islam di tempat itu.

Tiga hari di Mekah

Kaum Muslimin tinggal selama tiga hari di Mekah seperti sudah di tentukan dalam Perjanjian Hudaibiya, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di situ kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula sahabat-sahabatnya dari pihak Anshar turut menengoknya. Seolah mereka semua penduduk kota yang aman itu. Mereka semua bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Tuhan dengan melakukan salat dan samasekali menghilangkan sikap tinggi diri, yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri di tengah-tengah mereka sebagai seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai. Yang seorang di ajaknya tertawa, yang lain di ajaknya bergurau.

Tetapi semua yang dikatakannya selalu yang sebenarnya.

Dalam pada itu orang-orang Quraisy dan penduduk Mekah lainnya, dari tempat-tempat mereka di lereng-lereng bukit menyaksikan sendiri pemandangan yang luarbiasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa – tidak minum minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman. Kehidupan duniawi tidak sampai mempengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi!

Tidak terlalu sulit orang akan menilai kiranya bila sudah mengetahui, bahwa beberapa bulan kemudian Muhammad telah kembali lagi dan dapat membebaskan Mekah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Muslimin.

***

Perkawinan Nabi dengan Maimunah

Umm’l-Fadzl isteri Abbas b. Abd’l-Muttalib paman Nabi, telah mewakili Maimunah saudaranya ketika perkawinannya dilangsungkan. Maimunah ketika itu berusia duapuluh enam tahun, dan dia adalah bibi Khalid bin’l-Walid dari pihak ibu. Umm’l-Fadzl meminta Abbas suaminya bertindak mewakilinya dalam mengawinkan saudaranya itu. Maimunah sendiri setelah melihat keadaan umat Islam dalam ‘umrat’l-qadza’ hatinya tertarik sekali kepada Islam. Kemudian datang Abbas yang meminang kemenakannya itu agar ia sudi mengawini Maimunah. Tawaran ini diterima oleh Muhammad dan diberinya mas kawin sebesar 400 dirham.

Waktu tiga hari yang sudah ditentukan menurut Perjanjian Hudaibiya telah berakhir. Akan tetapi dengan perkawinannya dengan Maimunah itu Muhammad ingin memperpanjang waktunya supaya didapat jalan lebih baik dalam mengadakan saling pengertian dengan pihak Quraisy.

Akan tetapi pada waktu itu juga dari pihak Quraisy Suhail b. ‘Amr dan Huwaitib b. ‘Abd’l ‘Uzza datang kepada Muhammad dengan mengatakan: “Waktumu sudah habis; silakan keluar.”

“Apa salahnya kalau kamu membiarkan aku selama melangsungkan perkawinan berada di tengah-tengah kamu? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir,” demikian jawaban Muhammad kepada mereka, dengan kesadaran betapa dalamnya ‘umrat’l-qadza’ itu meninggalkan kesan dalam hati penduduk Mekah, betapa benar hal itu mempesonakan mereka, membuat sikap permusuhan mereka jadi reda. Ia mengetahui, bahwa kalau mereka mau memenuhi undangannya untuk perjamuan itu dan dapat saling mengadakan dialog, maka dengan mudah pintu Mekah akan terbuka di hadapannya. Dan ini pulalah yang dikuatirkan oleh Suhail dan Huwaitib, dan karena itu mereka berkata lagi: “Kami tidak memer]ukan jamuanmu. Keluar sajalah.”

Dengan tidak ragu-ragu Muhammad pun mengalah kepada permintaan mereka sesuai dengan perjanjian yang harus dilaksanakan. Kepada segenap Muslirnin diumumkan siap-siap meninggalkan tempat. Sesudah itu ia pun berangkat dengan diikuti kaum Muslimin. Ketika itu yang tinggal ialah Abu Rafi’, bekas budaknya yang kemudian menyusul membawa Maimunah ke Sarif2 dan perkawinan dilangsungkan di sana Dan Maimunah sebagai Umm’l-Mu’minin adalah isteri Nabi yang terakhir yang masih hidup limapuluh tahun kemudian sesudah Nabi wafat. Ia minta dikuburkan di tempat Rasulullah melangsungkan perkawinannya. Salma, janda pamannya Hamzah dan saudara perempuan Maimunah serta ‘Ammara (puteri Hamzah) yang masih perawan belum kawin, telah menjadi tanggungan Muhammad pula.

Muslimin ke Medinah

Kaum Muslimin sudah sampai kembali dan sudah menetap lagi di Medinah. Dalam pada itu Mullammad pun yakin bahwa ‘umrat’l-qada’ itu telah meninggalkan pengaruh yang cukup besar dalam hati Quraisy dan seluruh penduduk Mekah. Juga ia yakin bahwa sebagai akibat semua itu akan timbul pula peristiwa-peristiwa penting yang berjalan cepat sekali.

Islamnya Khalid bin’l-Walid

Sejarah telah membenarkan perkiraannya. Begitu ia berangkat kembali ke Medinah, Khalid bin’l-Walid – Jenderal Kaveleri kebanggaan Quraisy dan pahlawan perang Uhud itu telah berdiri di tengah-tengah sidang masyarakatnya sendiri sambil berkata:

“Sekarang nyata sudah bagi setiap orang yang berpikiran sehat, bahwa Muhammad bukan tukang sihir, juga bukan seorang penyair. Apa yang dikatakannya adalah firman Tuhan semesta alam ini. Setiap orang yang punya hati nurani berkewajiban menjadi pengikutnya.”

‘Ikrima b. Abi Jahl merasa ngeri sekali mendengar kata-katanya itu.

“Khalid,” kata ‘Ikrima kemudian, “engkau telah bertukar agama.”3

Selanjutnya terjadi percakapan antara mereka sebagai berikut:

Khalid Aku tidak bertukar agama, tetapi aku mengikuti agama Islam.

‘Ikrima Tak ada orang akan berkata begitu di kalangan Quraisy selain engkau.

Khalid – Mengapa ?

‘Ikrima – Ya, sebab Muhammad sudah menjatuhkan derajat ayahmu ketika ia dilukai. Pamanmu dan sepupumu sudah dibunuhnya di Badr. Demi Allah, aku tidak akan masuk Islam dan tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti kau itu, Khalid. Engkau tidak melihat Quraisy yang sudah berusaha hendak membunuhnya?

Khalid – Itu hanya semangat dan fanatisma jahiliah. Tetapi sekarang, setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah aku mengikut agama Islam.

Setelah itu Khalid lalu mengutus pasukan berkudanya kepada Nabi menyatakan dirinya masuk Islam dan mengakuinya. Khalid menganut Islam ini beritanya kemudian sampai juga kepada Abu Sufyan. Khalid di panggil.

“Benarkah apa yang kudengar tentang engkau?” tanya Abu Sufyan. Setelah dijawab oleh Khalid, bahwa memang benar, Abu Sufyan marah-marah seraya katanya:

“Demi Lata dan ‘Uzza. Kalau aku sudah mengetahui apa yang kaukatakan benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi, sebelum aku menghadapi Muhammad.”

“Dan memang itulah yang benar, apa pun yang akan terjadi.”

Terbawa oleh kemarahannya ketika itu juga Abu Sufyan maju hendak menyerangnya. Tetapi ‘Ikrima yang pada waktu itu turut hadir segera bertindak mengalanginya seraya berkata: “Abu Sufyan, sabarlah. Seperti engkau, aku juga kuatir kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu dan ikut ke dalam agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangannya itu, padahal seluruh Quraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku kuatir, jangan-jangan sebelum bertemu tahun depan seluruh penduduk Mekah sudah menjadi pengikutnya.”

Islamnya ‘Amr bin’l-Ash dan ‘Uthman b. Talha

Sekarang Khalid sudah pergi meninggalkan Mekah ke Medinah. Ia menggabungkan diri ke dalam barisan Muslimin

Sesudah Khalid, ikut pula ‘Amr bin’l-’Ash dan ‘Uthman b. Talha penjaga Ka’bah, masuk Islam. Dengan masuknya mereka kedalam agama Islam, maka banyak pula penduduk Mekah yang turut menjadi pengikut agama ini. Dengan demikian kedudukan Islam makin menjadi kuat, dan terbukanya pintu Mekah buat Muhammad sudah tidak diragukan lagi.

Catatan kaki:

1 Umra berarti ziarah ke Mesjid Suci dengan syarat-syarat tertentu. (N) dalam melakukan ibadah “haji kecil” yang berbeda dengan ibadah haji yang biasa, tidak mesti dilakukan dalam waktu khusus selama dalam setahun. ‘Umrat’l-Qadziya, kata qadza dapat diartikan pengganti yakni pengganti umrah yang tidak jadi dilaksanakan karena dirintangi oleh pihak Quraisy di Hudaibiya, atau dengan arti penunaian yaitu menunaikan isi perjanjian Hudaibiya, bahwa Ibadah itu dapat dilakukan pada tahun berikutnya setelah berlakunya perjanjian. Lepas dari pengertian fikih dalam terjemahan ini dipakai arti yang pertama. (A).

2 Sarif sebuah tempat di dekat Mekah, yang didalam memperkirakan jaraknya masih terdapat perbedaan pendapat antara 6 dan 12 mil.

3 Bertukar agama (apostasi), shaba’a, harfiah berarti berputar ke, pindah dari, suatu agama kepada agama lain (N). Maksudnya berbalik menganut agama Islam. Menurut LA masih seakar dengan Sabianisma (lihat halaman 33), suatu tuduhan yang populer di kalangan Quraisy (A).

PERJANJIAN HUDAIBIYAH

Setelah enam tahun di Medinah

ENAM tahun lamanya sudah sejak Nabi dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Mekah ke Medinah. Seperti kita lihat, selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan kepada peperangan, kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. sementara itu Islampun makin tersebar luas, makin kuat dan ampuh pula.

Sejak tahun pertama Hijrah, Muhammad sudah mengubah kiblatnya dari al-Masjid’l-Aqsha ke al-Masjid’l-Haram. Sekarang kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang di bangun oleh Ibrahim di Mekah, dan yang kemudian bangunan itu dibaharui lagi tatkala Muhammad masih muda belia. Waktu itu ia juga turut mengangkat batu hitam ketempatnya di ujung dinding bangunan itu. Tak terlintas dalam pikirannya atau dalam pikiran siapapun juga waktu itu, bahwa Tuhan akan menurunkan risalah kepadanya.

Muslimin dirintangi ke Mesjid Suci

Sejak ratusan tahun yang lalu, al-Masjid’l-Haram ini (Mesjid Suci) sudah menjadi arah tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Muhammad dan kaum Muslimin sudah hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Mesjid Suci itu, melarang mereka mendekatinya diluar golongan Arab lainnya. Dalam hal ini firman Tuhan turun pada tahun Hijrah pertama itu:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan suci: bolehkah berperang? Katakanlah: Berperang dalam bulan itu suatu dosa besar. Tetapi merintangi orang dari jalan Allah dan ingkar kepadaNya, merintangi orang memasuki Masjid Suci serta mengusir penduduk dari sekitar tempat itu, lebih besar lagi dosanya disisi Allah.” (Qur’an, 2:217

Dan sesudah perang Badr juga firman Tuhan ini datang: “Dan kenapa Allah tidak akan menyiksa mereka padahal mereka merintangi orang memasuki Mesjid Suci, sedang mereka bukan penanggungjawabnya. Mereka yang bertanggungjawab mengurusnya sebenarnya ialah orang-orang yang bertakwa. Tetapi mereka kebanyakan tidak mengetahui. Dan sembahyang mereka di sekitar Rumah Suci itu tidak lain hanya bersiul dan bertepuk tangan. Oleh karena itu rasakan siksaan yang disebabkan oleh kekafiranmu itu. Orang-orang kafir itu mengeluarkan harta mereka guna melarang orang dari jalan Allah; maka mereka masih akan mengeluarkan harta mereka. Sesudah itu mereka menyesal, lalu mereka kalah. Dan orang-orang yang kafir itu akan dikumpulkan di dalam neraka” (Qur’an, 8:34-36)

Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Mesjid Suci itu yang oleh Tuhan dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Akan tetapi pihak Quraisy menganggap Muhammad dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari dewa-dewa dalam Rumah Suci itu: Hubal, Isaf, Na’ila dan berhala-berhala yang lain. Oleh karena itu memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka’bah adalah suatu kewajiban buat Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.

Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu kaum Muhajirin sendiripun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan – tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja mereka itu semua yakin akan adanya pertolongan Tuhan kepada Rasul dan kepada mereka serta mengangkat taraf agama mereka diatas agama lain. Mereka percaya sekali, bahwa tak lama lagi pasti akan datang waktunya Tuhan membukakan pintu Mekah kepada mereka, dan mereka akan bertawaf di Rumah Purba (Ka’bah) itu, menunaikan kewajiban agama yang diwajibkan Tuhan kepada seluruh umat manusia. Kalau selama itu, tahun demi tahun yang terjadi hanya peperangan, dari perang Badr ke Uhud, lalu Khandaq, kemudian peperangan-peperangan dan kesibukan-kesibukan lain, maka hari yang mereka harap-harapkan itu kini pasti akan tiba. Mereka sangat merindukan hari yang diharap-harapkan itu. Tidak kurang pula Muhammad seperti mereka, sangat merindukannya dan yakin sekali, bahwa saatnya sudah dekat!

Dengan melarang mengadakan ziarah ke Mekah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Rumah Purba ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka’bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Tujuan sesuatu kabilah itu satu sama lain dengan menyembah berhala tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan bertawaf di Ka’bah serta melakukan segala upacara dan penyembahan berhala. Muhammad datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisma dan syirik. Ia mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah Yang Tunggal dan tidak bersekutu. Ia akan menempatkannya di atas segala kekurangan, akan membawa kehidupan rohani ke tempat yang dapat menangkap arti kesatuan alam serta keesaan Tuhan. Jadi oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan

Akan tetapi apabila Muhammad kemudian datang juga disertai orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya, yang sebenarnya mereka ini penduduk asli Mekah, maka orang-orang Quraisy itu kuatir rakyat jelata di Mekah akan menggabungkan diri kepadanya lalu merasa pula bahwa memisahkan mereka dari sanak keluarga, adalah suatu tindakan kekejaman. Dengan demikian ini akan merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.

Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah tidak pula melupakan Muhammad dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka yang sudah rata itu ke Syam. Oleh karenanya dalam jiwa mereka sudah tertanam rasa dendam dan permusuhan; padahal sudah cukup diketahui, bahwa Rumah itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab, dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah

Muslimin mengumumkan naik haji

Telah lampau enam tahun sejak hijrah, kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka’bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi bila mereka sedang berkumpul di mesjid, tiba-tiba Nabi memberitahukan kepada mereka bahwa ia telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, bahwa insya Allah mereka akan memasuki Mesjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa akan merasa takut.

Begitu mereka mendengar berita mengenai mimpi Rasulullah itu, serentak mereka mengucap; Alhamdulillah. Secepat kilat berita ini telah tersebar ke seluruh penjuru Medinah. Tetapi bagaimana caranya memasuki Masjid Suci itu? Dengan perangkah? Ataukah orang-orang Quraisy secara paksa harus dikosongkan? Atau barangkali Quraisy dengan tunduk menyerah membukakan jalan?

Tidak. Tak ada pertempuran, tak ada perang. Bahkan Muhammad mengumumkan kepada orang ramai supaya pergi menunaikan ibadah haji dalam bulan Zulhijah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman, tanpa ada pertempuran. Dalam pada itu yang diinginkan sekali oleh Muhammad ialah supaya kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin. Maksud baik daripada ini ialah supaya semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan akan berperang. Ia hanya ingin melaksanakan suatu kewajiban dalam hukum Islam, yang juga diwajibkan dalam agama-agama orang Arab sebelum itu. Untuk itu diajaknya orang-orang Arab yang tidak se-agama itu agar juga melakukan kewajiban tersebut. Sesudah semua itu, kalaupun Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab akan apa yang sudah menjadi kepercayaan sekalipun berlain-lainan, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap Quraisy atau akan membantu mereka melawan kaum Muslimin. Dengan sikap keras itu mereka hendak membendung orang pergi ke Mesjid Suci, hendak membelokkan orang dari agama Ismail. dan dari agama Ibrahim, leluhur mereka.

Dua perkemahan bertemu

Oleh karena itu pihak Muslimin merasa aman juga kalau orang-orang Arab itu dapat menggabungkan diri seperti golongan Ahzab dulu. Agamanya akan lebih terpandang dimata orang-orang Arab yang belum beriman itu. Apa pula yang akan dikatakan Quraisy kepada mereka yang datang ke tanah suci itu, tanpa membawa senjata kecuali pedang yarig disarungkan, didahului oleh binatang kurban yang hendak mereka sembelih. Buat mereka tak ada urusan lain daripada hanya akan menunaikan tugas agama dengan bertawaf di Baitullah, yang juga menjadi kewajiban semua masyarakat Arab itu.

Muhammad mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kepada kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka itu yang masih menunda-nunda. Dalam bulan Zulkaedah sebagai salah satu bulan suci, ia berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang mau menggabungkan diri, didahului di depan oleh untanya, Al-Qashwa. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak seribu empatratus orang. Muhammad membawa binatang kurban terdiri dari tujuhpuluh ekor unta1, dengan mengenakan pakaian ihram, dengan maksud supaya orang mengetahui, bahwa ia datang bukan mau berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.

Bilamana rombongan sudah sampai di Dzu’l-Hulaifa2 mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiah. Binatang kurban itu dilepaskan dan disebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahl yang kena rampas dalam perang Badr. Tiada seorang juga dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang tersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Isteri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini ialah Umm Salama.

Berita tentang Muhammad dan rombongannya serta tujuan kepergiannya hendak menunaikan ibadah haji itu sudah sampai juga kepada Quraisy. Akan tetapi dalam hati mereka timbul rasa kuatir. Masalahnya buat mereka adalah sebaliknya. Mereka menduga kedatangannya hanya sebagai suatu tipu muslihat saja. Dengan begitu Muhammad mau menipu supaya dapat memasuki Mekah, karena mereka dan golongan Ahzab pernah pula terlarang tak dapat memasuki Medinah. Apa yang mereka ketahui tentang lawan mereka yang hendak memasuki Tanah Suci melakukan Umrah itu serta apa yang sudah diumumkan di seluruh jazirah bahwa sebenarnya mereka hanya didorong oleh rasa keagamaan hendak menunaikan kewajiban yang sudah juga diakui oleh seluruh orang Arab, tidak akan dapat mengubah keputusan Quraisy hendak mencegah Muhammad memasuki Mekah; betapa pun besarnya pengorbanan yang harus mereka lakukan guna melaksanakan keputusan mereka itu.

Oleh karena itu sebuah pasukan tentara yang barisan berkudanya saja terdiri dari 200 orang, oleh Quraisy segera di kerahkan dan pimpinannya di serahkan kepada Khalid bin’l-Walid dan ‘Ikrima bin Abi Jahl. Pasukan ini maju ke depan supaya dapat merintangi Muhammad masuk Ibukota (Mekah). Mereka maju terus sampai dapat bermarkas di Dhu Tuwa.

Sebaliknya Muhammad ia meneruskan perjalanannya. Sesampainya di ‘Usfan3 ia bertemu dengan seseorang dari suku Banu Ka’b. Nabi menanyakan kalau-kalau orang itu mengetahui berita-berita sekitar Quraisy.

“Mereka sudah mendengar tentang perjalanan tuan ini,” jawabnya. “Lalu mereka berangkat dengan mengenakan pakaian kulit harimau. Mereka berhenti di Dhu Tuwa dan sudah bersumpah bahwa tempat itu sama-sekali tidak boleh tuan masuki. Sekarang Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah maju terus ke Kira’l-Ghamim.”4

“O, kasihan Quraisy!” kata Muhammad. “Mereka sudah lumpuh karena peperangan. Apa salahnya kalau mereka membiarkan saja saya dengan orang-orang Arab yang lain itu. Kalaupun mereka sampai membinasakan saya, itulah yang mereka harapkan, dan kalau Tuhan memberi kemenangan kepada saya, mereka akan masuk Islam secara beramai-ramai. Tetapi jika itupun belum mereka lakukan, mereka pasti akan berperang, sebab mereka mempunyai kekuatan. Quraisy mengira apa. Saya akan terus berjuang, demi Allah, atas dasar yang diutuskan Allah kepada saya sampai nanti Allah memberikan kemenangan atau sampai leher ini putus terpenggal.”

Kemudian ia berfikir, apa gerangan yang akan diperbuatnya. Keberangkatannya dari Medinah bukan akan berperang. Ia mau memasuki Tanah Suci hanya hendak berziarah ke Baitullah, ia hendak menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Ia tidak mengadakan persiapan perang. Boleh jadi juga kalaupun dia berperang dan dikalahkan, hal ini akan dijadikan kebanggaan oleh Quraisy. Atau barangkali Khalid dan ‘Ikrima itu disuruh dengan tujuan sengaja hendak mencapai maksud itu, setelah diketahui bahwa ia berangkat bukan dengan maksud hendak berperang ?

Sementara Muhammad sedang berpikir-pikir itu pasukan Quraisy sudah tampak sejauh mata memandang. Tampaknya sudah tak ada jalan lagi buat Muslimin akan dapat mencapai tujuan, kecuali jika mau menerobos barisan itu. Dan jika pun terjadi pertempuran pihak Quraisy akan mempertahankan kehormatan dan tanah airnya. Suatu pertempuran yang memang tidak diingini oleh Muhammad. Akan tetapi Quraisy hendak memaksanya juga supaya ia bertempur dan supaya melibatkan diri ke dalam peperangan.

Muhammad memelihara perdamaian

Sungguhpun begitu pihak Muslimimpun tidak kurang pula semangat pertahanannya. Adakalanya dengan pedang terhunus saja sudah cukup buat mereka menangkis serangan musuh. Tetapi dengan demikian tujuannya jadi hilang, dan akan dipakai alasan oleh Quraisy di kalangan orang-orang Arab yang lain. Pandangannya lebih jauh dari itu, siasatnya lebih dalam dan lebih matang É Jadi, dia menyerukan kepada orang banyak itu sambil katanya: “Siapa yang dapat membawa kita ke jalan lain daripada tempat mereka sekarang berada?”

Dengan demikian ia masih berpegang pada pendapatnya hendak menempuh saluran damai yang sudah digariskannya sejak ia berangkat dari Medinah dan berniat hendak pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Dalam pada itu kemudian ada seorang laki-laki yang bersedia membawa mereka ke tempat lain dengan melalui jalan berliku-liku antara batu-batu karang yang curam yang sangat sulit dilalui. Kaum Muslimin merasa sangat letih menempuh jalan itu. Tetapi akhirnya mereka sampai juga ke sebuah jalan datar pada ujung wadi. Jalan ini mereka tempuh melalui sebelah kanan yang akhirnya keluar di Thaniat’l-Murar, jalan menurun ke Hudaibiya di sebelah bawah kota Mekah.

Setelah pasukan Quraisy melihat apa yang dilakukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu, merekapun cepat-cepat memacu kudanya kembali ke tempat semula dengan maksud hendak mempertahankan Mekah bila diserbu oleh pihak Muslimin.

Bila kaum Muslimin sampai di Hudaibiya. Al-Qashwa’ (unta kepunyaan Nabi) berlutut. Kaum Muslimin menduga ia sudah terlalu lelah. Tetapi Rasulullah berkata: “Tidak. Ia (unta itu) ditahan oleh yang menahan gajah dulu dari Mekah. Setiap ada ajakan dari Quraisy dengan tujuan mengadakan hubungan kekeluargaan, tentu saya sambut.” Kemudian dimintanya orang-orang itu supaya turun dari kendaraan. Tetapi mereka berkata: “Rasulullah, kalaupun kita turun, di lembah ini tak ada air.”

Mendengar itu ia mengeluarkan sebuah anak panah dari tabungnya lalu diberikannya kepada seseorang supaya dibawa turun kedalam salah sebuah sumur yang banyak tersebar di tempat itu. Bila anakpanah itu ditancapkan ke dalam pasir pada dasar sumur ketika itu airpun memancar. Orang baru merasa puas dan merekapun turun.

Mereka turun dari kendaraan. Akan tetapi pihak Quraisy di Mekah selalu mengintai. Lebih baik mereka mati daripada membiarkan Muhammad memasuki wilayah mereka dengan cara kekerasan sekalipun. Adakah agaknya mereka sudah mengadakan persiapan dan perlengkapan perang guna menghadapi Quraisy, kemudian Tuhan yang akan menentukan nasib mereka masing-masing dan Tuhan juga yang akan memutuskan persoalannya jika sudah mesti terjadi?!

Kearah inilah mereka sebagian berpikir dan pada kemungkinan ini pula pihak Quraisy itu berpikir. Sekiranya hal ini memang teriadi dan yang mendapat kemenangan pihak Muslimin, tentu tamatlah riwayat Quraisy itu di mata orang, untuk selama-lainanya- Posisi Quraisy jadi terancam kalau begitu, jabatan menjaga Ka’bah dan mengurus air para pengunjung dan segala macam upacara keagamaan yang dibanggakan kepada masyarakat Arab itu, akan hilang dari tangan mereka. Jadi apa yang harus mereka lakukan kalau begitu? Kedua kelompok itu masing-masing sekarang sedang memikirkan langkah berikutnya. Adapun Muhammad sendiri ia tetap berpegang pada langkah yang sudah digariskannya sejak semula, mengadakan persiapan untuk ‘umrah, yaitu suatu langkah perdamaian dan menghindari adanya pertempuran; kecuali jika pihak Quraisy menyerangnya atau mengkhianatinya; tak ada jalan lain iapun harus menghunus pedang.

“Sebaliknya Quraisy, mereka masih maju-mundur. Kemudian terpikir oleh mereka akan mengutus beberapa orang terkemuka dari kalangan mereka; dan satu segi untuk menjajagi kekuatannya dan dari segi lain untuk merintangi jangan sampai masuk Mekah. Dalam hal ini yang datang menemuinya ialah Budail b. Warqa’ dalam suatu rombongan yang terdiri dari suku Khuza’a. Oleh mereka ditanyakan, gerangan apa yang mendorongnya datang. Setelah dalam pembicaraan itu mereka merasa puas, bahwa ia datang bukan untuk berperang, melainkan hendak berziarah dan hendak memuliakan Rumah Suci, merekapun pulang kembali kepada Quraisy. Mereka juga ingin meyakinkan Quraisy, supaya orang itu dan sahabat-sahabatnya dibiarkan saja mengunjungi Rumah Suci. Akan tetapi mereka malah dituduh dan tidak diterima baik oleh Quraisy. Dikatakannya kepada mereka: Kalau kedatangannya tidak menghendaki perang, pasti ia takkan masuk kemari secara paksa dan kitapun takkan menjadi bahan pembicaraan orang.

Utusan Quraisy kepada Muhammad

Kemudian Quraisy mengutus orang lain yang sudah mengetahui keadaan mereka dari orang yang sudah diutus sebelumnya. Ia tidak akan serampangan supaya jangan dituduh pula oleh Quraisy. Dalam maksudnya hendak memerangi Muhammad itu Quraisy banyak menyandarkan diri kepada sekutunya dari golongan Ahabisy5. Terpikir oleh Quraisy pemimpin mereka ini yang hendak di utus, kalau-kalau bila sudah diketahui bahwa Muhammad tidak juga mau mengerti dan tidak ada saling pengertian dengan dia Quraisy akan merasa lebih mendapat dukungan dan akan lebih kuat mereka menghadapi Muhammad. Untuk itu maka berangkatlah Hulais pemimpin Ahabisy itu menuju ke perkemahan Muslimin.

Tatkala Nabi melihatnya ia datang, dimintanya supaya ternak kurban itu dilepaskan didepan matanya, supaya dapat melihat dengan mata kepala sendiri adanya suatu bukti yang sudah jelas, bahwa orang-orang yang oleh Quraisy hendak diperangi itu tidak lain adalah orang-orang yang datang hendak berziarah ke Rumah Suci. Hulais dapat menyaksikan sendiri adanya ternak kurban yang tujuhpuluh ekor itu, mengalir dari tengah wadi dengan bulu yang sudah rontok. Terharu sekali ia melihat pemandangan itu. Dalam hatinya timbul rasa keagamaannya. Ia yakin bahwa dalam hal ini pihak Quraisylah yang berlaku kejam terhadap mereka, yang datang bukan ingin berperang atau mencari permusuhan.

Sekarang ia kembali kepada Quraisy tanpa menemui Muhammad lagi. Diceritakannya kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Tetapi begitu mendengar ceritanya itu, Quraisy naik pitam.

“Duduklah,” kata mereka kepada Hulais. “Engkau ini Arab badui yang tidak tahu apa-apa.”

Mendengar itu Hulais juga jadi marah. Diingatkannya bahwa persekutuannya dengan Quraisy itu bukan untuk merintangi orang dari Rumah Suci, siapa saja yang datang berziarah, dan tidak semestinya mereka akan mencegah Muhammad dan beberapa orang Ahabisy yang datang dengan dia ke Mekah. Takut akan akibat kemarahannya itu, Quraisy mencoba membujuknya kembali dan memintanya supaya menunda sampai dapat mereka pikirkan lebih lanjut.

Perutusan ‘Urwa ibn Mas’ud

Kemudian terpikir oleh mereka hendak mengutus orang yang bijaksana dan dapat mereka yakinkan kebijaksanaannya. Hal ini mereka bicarakan kepada ‘Urwa ibn Mas’ud ath-Thaqafi. Menanggapi pendapatnya mengenai sikap mereka yang keras dan memperlakukan tidak layak terhadap kepada utusan yang sebelumnya, mereka meminta maaf kepada ‘Urwa. Setelah mereka minta maaf dan sekaligus menegaskan bahwa mereka sangat menaruh kepercayaan kepadanya dan yakin sekali akan kebijaksanaan dan pandangannya yang baik, ia pun berangkat menemui Muhammad dan dikatakannya bahwa Mekah juga tanah tumpah darahnya yang harus dipertahankan. Kalau ini sampai dirusak, yang akan diderita oleh penduduk yang tinggal di tempat itu, yang terdiri dari rakyat jelata yang campur-aduk, kemudian dia ditinggalkan oleh rakyat jelata itu, maka yang akan mengalami kecemaran yang cukup parah adalah Quraisy, suatu hal yang oleh Muhammad juga tidak diinginkan, sekalipun antara dia dengan Quraisy terjadi perang terbuka.

Ketika itu Abu Bakr berkata kepada ‘Urwa dengan membantah keras, bahwa orang akan meninggalkan Rasullullah. ‘Urwa mengajaknya berbicara sambil memegang janggut Muhammad. Sedang Mughira bin Syu’ba yang berdiri di arah kepala Rasul memukul tangan ‘Urwa setiap ia memegang janggut Muhammad meskipun ia sadar bahwa sebelum ia masuk Islam, ‘Urwa pernah menebuskan tigabelas diat atas beberapa orang yang telah dibunuh oleh Mughira.

Sekarang ‘Urwa pulang kembali setelah ia mendapat keterangan dari Muhammad sama seperti yang juga diberikan kepada mereka yang datang sebelumnya, bahwa kedatangannya bukan hendak berperang, melainkan hendak mengagungkan Rumah Suci, menunaikan kewajiban kepada Tuhan.

“Saudara-saudara,” katanya setelah ia berada kembali di tengah-tengah masyarakat Quraisy. “Saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar dan dengan Negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dengan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudu, sahabat-sahabatnya sudah lebih dulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka takkan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”

Pembicaraan seperti yang kita kemukakan itu berjalan lama juga. Terpikir oleh Muhammad, mungkin utusan-utusan Quraisy itu tidak berani menyampaikan pendapatnya yang akan dapat meyakinkan pihak Quraisy. Oleh karena itu dari pihaknya ia lalu mengutus orang menyampaikan pendapatnya itu. Akan tetapi disini unta utusan itu oleh mereka ditikam. Bahkan utusan itu hendak mereka bunuh kalau tidak pihak Ahabisy segera mencegah dan utusan itu dilepaskan. Ini menunjukkan, bahwa dengan tingkah-lakunya itu pihak Mekah memang sudah dikuasai oleh jiwa kebencian dan permusuhan, yang membuat pihak Muslimin gelisah tidak sabar lagi, sampai-sampai ada diantaranya yang sudah berpikir sampai ke soal perang.

Sementara mereka sedang berusaha hendak mencapai persetujuan dengan jalan saling tukar-menukar utusan, beberapa orang yang tidak bertanggungjawab dari pihak Quraisy malam-malam keluar dan mereka ini melempari kemah Nabi dengan batu. Jumlah mereka ini pada suatu ketika sampai empatpuluh atau limapuluh orang, dengan maksud hendak menyerang sahabat-sahabat Nabi. Tetapi mereka ini tertangkap basah lalu di bawa kepada Nabi. Tahukah kita apa yang dilakukannya? Mereka itu dimaafkan semua dan dilepaskan, sebagai suatu tanda ia ingin menempuh jalan damai serta ingin menghormati bulan suci, jangan ada pertumpahan darah di Hudaibiya, yang juga termasuk daerah suci Mekah. Mengetahui hal ini pihak Quraisy terkejut sekali. Segala bukti yang hendak dituduhkan bahwa Muhammad bermaksud memerangi mereka, jadi gugur samasekali. Mereka yakin kini bahwa semua tindakan permusuhan dari pihak mereka terhadap Muhammad, oleh pihak Arab hanya akan dipandang sebagai suatu pengkhianatan kotor saja. Jadi berhak sekalilah Muhammad mempertahankan diri dengan segala kekuatan yang ada.

Kemudian Nabi ‘alaihissalam sekali lagi berusaha hendak menguji kesabaran Quraisy dengan mengirimkan seorang utusan yang akan mengadakan perundingan dengan mereka. Umar bin’l-Khattab dipanggil dan dimintainya menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada pemuka-pemuka Quraisy.

“Rasulullah,” kata Umar. “Saya kuatir Quraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah tidak ada pihak Banu ‘Adi b. Ka’b yang akan melindungi saya. Quraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka. Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya yaitu Usman b. ‘Affan.”

Usman b’Affan diutus

Nabipun segera memanggil Usman b. ‘Affan -menantunya- dan diutusnya kepada Abu Sufyan dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Bila Usman berangkat membawa pesan itu, ketika memasuki Mekah terlebih dulu ia menemui Aban b. Sa’id yang kemudian memberikan jiwar (perlindungan) selama ia bertugas membawa tugas itu sampai selesainya. Sekarang Usman berangkat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy itu dan menyampaikan pesannya. Tetapi kata mereka kepadanya: “Usman, kalau engkau mau bertawaf di Ka’bah, bertawaflah.”

“Saya tidak akan melakukan ini sebelum Rasulullah bertawaf,” jawab Usman. “Kedatangan kami kemari hanya akan berziarah ke Rumah Suci, akan memuliakannya, kami ingin menunaikan kewajiban ibadah di tempat ini. Kami telah datang membawa binatang korban, setelah disembelih kamipun akan kembali pulang dengan aman.”

Quraisy menjawab, bahwa mereka sudah bersumpah tahun ini Muhammad tidak boleh masuk Mekah dengan kekerasan. Pembicaraan itu jadi lama, dan lama pula Usman menghilang dari Muslimin. Desas-desus segera timbul di kalangan mereka bahwa pihak Quraisy telah membunuhnya secara gelap dan dengan tipu-muslihat. Boleh jadi sementara itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan Usman sedang sama-sama mencari suatu rumusan jalan tengah antara sumpah mereka supaya Muhammad jangan datang ke Mekah tahun ini dengan kekerasan, dengan keinginan pihak Muslimin yang akan bertawaf di Ka’bah serta menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Boleh jadi juga mereka sudah akrab kepada Usman dan dalam pada itu mereka sama-sama mencari suatu cara yang akan mengatur hubungan mereka dengan Muhammad dan hubungan Muhammad dengan mereka.

Akan tetapi bagaimanapun juga pihak Muslimin di Hudaibiya sudah gelisah sekali memikirkan keadaan Usman. Terbayang oleh mereka kelicikan Quraisy serta tindakan mereka membunuh Usman dalam bulan suci. Semua agama orang Arab tidak membenarkan seorang musuh membunuh musuhnya yang lain di sekitar Ka’bah atau di sekitar Mekah yang suci. Terbayang pula oleh mereka kelicikan Quraisy itu terhadap orang yang datang mengunjungi mereka membawa pesan perdamaian dan tidak saling menyerang. Oleh karena itu mereka lalu meletakkan tangan mereka di atas empu pedang masing-masing, suatu tanda mengancam, tanda kekerasan dan kemarahan. Juga Nabi ‘a.s, sudah merasa kuatir bahwa Quraisy telah mengkhianati dan membunuh Usman dalam bulan suci itu. Lalu katanya:

“Kita tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum kita dapat menghadapi mereka.”

Ikrar Ridzwan

Dipanggilnya sahabat-sahabatnya sambil ia berdiri di bawah sebatang pohon dalam lembah itu. Mereka semua berikrar (berjanji setia) kepadanya untuk tidak akan beranjak sampai mati sekalipun. Mereka semua berikrar kepadanya dengan iman yang teguh, dengan kemauan yang keras. Semangat mereka sudah berkobar-kobar hendak mengadakan pembalasan terhadap pengkhianatan dan pembunuhan itu. Mereka menyatakan ikrar kepadanya (yang kemudian dikenal dengan nama) Bai’at’r Ridzwan (Ikrar Ridzwan). Untuk itulah firman Tuhan ini turun:

“Allah sudah rela sekali terhadap orang-orang beriman tatkala mereka berikrar kepadamu di bawah pohon. Tuhan telah mengetahui isi hati mereka, lalu di turunkanNya kepada mereka rasa ketenangan dan memberi balasan kemenangan kepada mereka dalam waktu dekat ini.” (Qur’an, 48: 18)

Selesai Muslimin mengadakan ikrar itu Nabi ‘a.s. menepukkan sebelah tangannya pada yang sebelah lagi sebagai tanda ikrar buat Usman seolah ia juga turut hadir dalam Ikrar Ridzwan itu. Dengan ikrar ini pedang-pedang yang masih tersalut dalam sarungnya itu seolah sudah turut guncang. Tampaknya bagi Muslimin perang itu pasti pecah. Masing-masing mereka tinggal menunggu saat kemenangan atau gugur sebagai syahid dengan rela hati.

Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba tersiar pula berita bahwa Usman tidak terbunuh. Dan tidak lama kemudian disusul pula dengan kedatangan Usman sendiri ke tengah-tengah mereka itu. Tetapi, sungguhpun begitu Ikrar Ridzwan ini tetap berlaku, seperti halnya dengan Ikrar ‘Aqaba Kedua, sebagai tanda dalam sejarah umat Islam. Nabi sendiri senang sekali menyebutnya, sebab disini terlihat adanya pertalian yang erat sekali antara dia dengan sahabat-sahabatnya, juga memperlihatkan betapa benar keberanian mereka itu, bersedia terjun menghadapi maut, tanpa takut-takut lagi. Barangsiapa berani menghadapi maut, maut itu takut kepadanya. Dia malah akan hidup dan memperoleh kemenangan.

Perutusan Quraisy kepada Muhammad

Usman kembali. Apa yang di katakan Quraisy disampaikannya kepada Muhammad. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa kedatangannya dengan sahabat-sahabatnya itu hanya akan menunaikan ibadah haji. Mereka juga menyadari bahwa mereka tidak melarang siapa saja dari kalangan Arab yang akan datang berziarah dan melakukan umrah dalam bulan-bulan suci itu. Akan tetapi mereka sudah lebih dulu berangkat di bawah panji Khalid bin’l-Walid dengan tujuan akan memerangi dan mencegahnya masuk ke Mekah. Dan memang sudah terjadi benterokan-benterokan antara anak buah mereka dengan anak buah Muhammad. Kalau sesudah peristiwa itu mereka membiarkannya masuk ke Mekah, kalangan Arab akan bicara bahwa mereka sudah kalah menyerah kepadanya. Kedudukan dan kewibawaan mereka di mata orangsrang Arab itu akan jatuh. Oleh karena itu dengan maksud menjaga kewibawaan dan kedudukan mereka, untuk tahun ini mereka tetap bertahan pada pendirian dan sikap mereka itu. Baiklah ia juga memikirkan seperti mereka. Dia dan mereka, dengan sikapnya masing-masing. Begini ini pendiriannya dan begitu jalan keluar dari pendirian dan sikap masing-masing itu. Sebab kalau tidak, mau tidak mau tentu hanya jalan perang yang dapat ditempuh. Tetapi sebenarnya dalam bulan-bulan suci mereka tidak mau; dari satu segi mereka menghormati kesucian agama, dan dari segi lain, bila bulan suci ini sekarang tidak dihormati dan terjadi peperangan, maka untuk hari depan orang-orang Arab itu sudah merasa tidak aman lagi datang ke Mekah atau ke pasaran kota itu, sebab kuatir bulan-bulan suci itu akan dilanggar lagi. Ini suatu perkosaan terhadap perdagangan Mekah dan mata pencarian penduduk kota itu.

Perundingan kedua belah pihak

Pembicaraan diteruskan. Perundingan-perundingan antara kedua belah pihak sudah dimulai lagi. Pihak Quraisy mengutus Suhail b. ‘Amr dengan pesan: “Datangilah Muhammad dan adakan persetujuan dengan dia. Dalam persetujuan itu untuk tahun ini ia harus pulang. Jangan sampai ada kalangan Arab mengatakan, bahwa dia telah berhasil memasuki tempat ini dengan kekerasan.”

Sesampainya Suhail ke tempat Rasul, perundingan perdamaian dan syarat-syaratnya secara panjang lebar segera pula dibicarakan. Sekali-sekali pembicaraan itu hampir saja terputus, yang kemudian dilanjutkan lagi, mengingat bahwa kedua belah pihak sama-sama ingin mencapai hasil. Pihak Muslimin di sekeliling Nabi juga turut mendengarkan pembicaraan itu.

Ada beberapa orang dari mereka ini yang sudah tidak sabar lagi melihat Suhail yang begitu ketat dalam beberapa masalah, sedang Nabi menerimanya dengan cukup memberikan kelonggaran. Kalau tidak karena kepercayaan Muslimin yang mutlak kepada Nabi, kalau tidak karena iman mereka yang teguh kepadanya, niscaya hasil persetujuan itu tidak akan mereka terima. Akan mereka hadapi dengan perang supaya dapat masuk ke Mekah atau sebaliknya.

Abu Bakr dan Umar

Sampai pada akhir perundingan itu Umar bin’l-Khattab pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:

Umar: “Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”

Abu Bakr: “Ya, memang!”

Umar: “Bukankah kita ini Muslimin?”

Abu Bakr: “Ya, memang!”

Umar: “Kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”

Abu Bakr: “Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”

Setelah itu Umar kembali menemui Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Paling banyak yang dikatakannya pada akhir pembicaraannya dengan Umar itu ialah:

“Saya hamba Allah dan RasulNya. Saya takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya.”

Perjanjian Hudaibiya (Maret 628)

Selain itu kesabaran Muhammad terlihat pula ketika terjadi penulisan isi persetujuan itu, yang membuat beberapa orang Muslimin jadi lebih kesal. Ia memanggil Ali b. Abi Talib dan katanya:

“Tulis: Bismillahir-Rahmanir-Rahim (Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang).”

“Stop!” kata Suhail.

“Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah: Bismikallahuma (Atas namaMu ya Allah).”

Kata Rasulullah pula: “Tulislah: Atas namaMu ya Allah.” Lalu sambungnya lagi: “Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail b. ‘Amr.”

“Stop,” sela Suhail lagi. “Kalau saya sudah mengakui engkau Rasulullah, tentu saya tidak memerangimu. Tapi tulislah namamu dan nama bapamu.”

Lalu kata Rasulullah pula: “Tulis: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad b. Abdillah.” Dan selanjutnya perjanjian antara kedua belah pihak itu ditulis, bahwa kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun – menurut pendapat sebagian besar penulis sejarah Nabi – atau dua tahun menurut al-Waqidi – bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan; bahwa barangsiapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan, dan barangsiapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy juga diperbolehkan; bahwa untuk tahun ini Muhammad dan sahabat-sahabatnya harus kembali meninggalkan Mekah, dengan ketentuan akan kembali pada tahun berikutnya; mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa hanya pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.

Perjanjian Hudaibiya mulai berlaku

Begitu perjanjian ini ditanda-tangani, pihak Khuza’a segera bersekutu dengan Muhammad dan Banu Bakr bersekutu pula dengan Quraisy. Selanjutnya begitu perjanjian ini ditandatangani begitu pula Abu Jandal b. Suhail b. ‘Amr datang dan terus hendak menggabungkan diri dengan Muslimin, dan akan pergi bersama-sama pula. Tetapi Suhail sendiri melihat anaknya demikian dipukulnya mukanya dan direnggutnya ditentang leher untuk kemudian dikembalikan kepada Quraisy. Dalam pada itu Abu Jandal sendiri berteriak sekuat-kuatnya:

“Saudara-saudara Muslimin. Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini?!”

Dengan peristiwa itu kaum Muslimin makin gelisah, makin tidak senang mereka pada hasil perjanjian yang diadakan antara Rasul dengan Suhail. Tetapi Muhammad lalu mengarahkan kata-katanya kepada Abu Jandal:

“Abu Jandal, tabahkan hatimu. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu jalan keluar. Kita sudah menandatangani persetujuan dengan golongan itu, dan ini sudah kita berikan kepada mereka dan merekapun sudah pula memberikan kepada kita, dengan nama Allah. Kita tidak akan mengkhianati mereka.”

Sekarang Abu Jandal kembali kepada Quraisy, sesuai vlengan isi persetujuan dan janji Nabi. Suhail juga lalu berangkat pulang ke Mekah.

Muhammad masih tinggal. Ia gelisah melihat keadaan orang-orang sekelilingnya. Kemudian ia sembahyang, dan keadaannya mulai tenang kembali. Ia berdiri, hewan korbannya mulai disembelih. Ia duduk kembali, rambut kepalanya dicukur sebagai tanda umrah sudah dimulai. Hatinya sudah merasa tenang, merasa tenteram. Melihat Nabi melakukan itu, dan melihat ketenangannya pula, merekapun bergegas pula menyembelih hewan dan mencukur rambut kepala – sebagian ada yang bercukur dan ada juga yang hanya memangkas (menggunting) rambut:

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang mencukur rambut,” kata Muhammad.

Orang-orang jadi gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah ?”

“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka yang bercukur rambut,” katanya lagi.

Orang-orang masih gelisah sambil bertanya: “Dan mereka yang berpangkas rambut, ya Rasulullah?”

“Dan mereka yang berpangkas rambut,” katanya lagi.

“Rasulullah,” kata setengah mereka lagi, “kenapa doa buat yang bercukur saja yang dinyatakan, bukan buat yang bergunting rambut?,,

“Karena mereka sudah tidak ragu-ragu.”

“Tidak ada jalan lain buat Muslimin mereka mesti kembali ke Medinah dengan harapan akan kembali ke Mekah tahun depan. Sebahagian besar mereka itu membawa pikiran demikian ini dengan berat hati. Kalau tidak karena perintah Rasul, mereka takkan dapat menahan hati. Tiada biasanya mereka menerima kekalahan atau menyerah tanpa pertempuran. Karena iman mereka akan pertolongan Allah kepada Rasul dan agama, mereka tidak ragu-ragu lagi akan menyerbu Mekah, kalau saja Muhammad memerintahkan yang demikian itu.

Hudaibiya: suatu kemenangan yang nyata

Mereka tinggal di Hudaibiya selama beberapa hari lagi. Ada mereka yang bertanya-tanya tentang hikmah perjanjian yang dibuat oleh Nabi itu; ada pula yang dalam hati kecilnya masih menyangsikan adanya hikmah demikian itu. Akhirnya mereka berangkat pulang.

Sementara mereka di tengah perjalanan antara Mekah dengan Medinah tiba-tiba turun wahyu kepada Nabi dengan Surah Al-Fat-h. Firman Tuhan itupun oleh Nabi kemudian dibacakannya kepada sahabat-sahabat:

“Kami telah memberikan kepadamu suatu kemenangan yang nyata; supaya Tuhan mengampuni kesalahanmu yang sudah lalu dan yang akan datang, dan Tuhan akan mencukupkan karuniaNya kepadamu serta membimbing engkau ke jalan yang lurus.” (Qur’an, 48: 1-2) Dan seterusnya sampai pada akhir Surah.

Tidak sangsi lagi kalau begitu bahwa Perjanjian Hudaibiya ini adalah suatu kemenangan yang nyata sekali. Dan memang demikianlah adanya. Sejarahpun mencatat, bahwa isi perjanjian ini adalah suatu hasil politik yang bijaksana dan pandangan yang jauh, yang besar sekali pengaruhnya terhadap masa depan Islam dan masa depan orang-orang Arab itu semua. Ini adalah yang pertama kali pihak Quraisy mengakui Muhammad, bukan sebagai pemberontak terhadap mereka, melainkan sebagai orang yang tegak sama tinggi duduk sama rendah. Dan sekaligus mengakui pula berdirinya dan adanya kedaulatan Islam itu. Kemudian juga suatu pengakuan bahwa Musliminpun berhak berziarah ke Ka’bah serta melakukan upacara-upacara ibadah haji; suatu pengakuan pula dari mereka, bahwa Islam adalah agama yang sah diakui sebagai salah satu agama di jazirah itu. Selanjutnya gencatan senjata yang selama dua tahun atau sepuluh tahun membuat pihak Muslimin merasa lebih aman dari jurusan selatan tidak kuatir akan mendapat serangan Quraisy, yang juga berarti membuka jalan buat Islam untuk lebih tersebar lagi. Bukankah orang-orang Quraisy yang merupakan musuh Islam paling gigih dan lawan berperang yang paling keras itu sekarang sudah tunduk, sedang sebelum itu mereka samasekali tidak pernah akan mau tunduk?

Kenyataannya setelah persetujuan perletakan senjata itu Islam memang tersebar luas, berlipat ganda lebih cepat daripada sebelumnya. Jumlah mereka yang datang ke Hudaibiya ketika itu sebanyak 1400 orang. Tetapi dua tahun kemudian, tatkala Muhammad hendak membuka Mekah jumlah mereka yang datang sudah sepuluh ribu orang. Mereka yang masih menyangsikan hikmah perjanjian Hudaibiya ini, yang sangat keberatan ialah adanya sebuah klausul dalam perjanjian itu yang menyebutkan, bahwa barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Muhammad tanpa seijin walinya, harus dikembalikan kepada mereka, dan barangsiapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy tidak akan dikembalikan kepada Muhammad. Tanggapan Muhammad dalam hal ini ialah apabila ada orang yang murtad dari Islam dan minta perlindungan Quraisy, orang semacam ini tidak perlu lagi kembali kepada jamaah Muslimin, dan siapa-siapa yang masuk Islam dan berusaha menggabungkan diri dengan Muhammad mudah-mudahan Tuhan akan membukakan jalan keluar.

Cerita Abu Bashir

Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad bahkan lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Juga ini menunjukkan, bahwa dengan persetujuan Hudaibiya itu Islam telah memperoleh keuntungan besar yang luarbiasa, dan dua bulan kemudian sesudah itu telah pula membukakan jalan buat Muhammad memulai mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kepala-kepala negara asing mengajak mereka masuk Islam.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi itu memang membuktikan kebenaran pendapat Muhammad lebih cepat dari yang diduga sahabat-sahabatnya. Abu Bashir6 telah datang dari Mekah ke Medinah sebagai seorang Muslim. Sesuai dengan isi persetujuan ia mesti dikembalikan kepada Quraisy sebab ia pergi tidak seijin tuannya. Untuk itu maka Azhar b. ‘Auf dan Akhnas b. Syariq berkirim surat kepada Nabi supaya orang itu dikembalikan. Surat-surat itu dibawa oleh seorang laki-laki dari Banu ‘Amir yang datang bersama seorang budak.

“Abu Bashir,” kata Nabi, “Kita telah membuat perjanjian dengan pihak mereka, seperti sudah kauketahui. Suatu pengkhianatan menurut agama kita tidak dibenarkan. Semoga Allah membuat engkau dan orang-orang Islam yang ditindas bersama kau merupakan suatu kelapangan dan jalan keluar. Berangkat sajalah engkau kembali kedalam lingkungan masyarakatmu.”

“Rasulullah,” kata Abu Bashir, “Saya akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksa saya karena agama saya ini.”

Lalu Nabi mengulangi kata-kata tadi. Dan kedua orang itu pun berangkat. Sesampainya di Dhu’l-Hulaifa dimintanya kepada kawan seperjalanannya dari Banu ‘Amir itu supaya memperlihatkan pedangnya Setelah digenggamnya erat-erat pedang itu ditangannya, diayunkannya kepada orang dari Banu ‘Amir itu dan dibunuhnya orang itu. Sekarang sang budak lari ke jurusan Medinah, langsung menemui Nabi.

“Orang ini tampaknya dalam ketakutan,” kata Nabi setelah melihat orang itu. Lalu katanya kepada orang tersebut, “He! Ada apa?”

“Teman tuan membunuh teman saya,” kata orang itu.

Tidak lama kemudian Abu Bashir muncul dengan membawa pedang terhunus dan berkata dengan menujukan kata-katanya kepada Muhammad.

“Rasulullah,” katanya. “Jaminan tuan sudah terpenuhi, dan Tuhan sudah melaksanakan buat tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka dan dengan agama saya itu saya tetap bertahan, supaya jangan saya dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama saya itu.”

Sebenarnya Rasul tidak dapat menyembunyikan kekagumannya dan harapannya sekiranya dia punya anak buah. Sesudah itu Abu Bashir berangkat juga. Ia berhenti di Al-Ish, di pantai laut sepanjang jalur Quraisy ke Syam. Dalam perjanjian Muhammad dengan Quraisy ialah membiarkan jalan ini sebagai lalu-lintas perdagangan, yang tidak boleh diganggu olehnya atau oleh Quraisy. Tetapi setelah Abu Bashir pergi ke daerah itu dan hal ini didengar oleh umat Muslimin yang tinggal di Mekah serta tentang kekaguman Rasul kepadanya, sebanyak kira-kira tujuhpuluh laki-laki dari mereka ini lari pula menemuinya dan menggabungkan diri di tempat tersebut, lalu dijadikannya dia sebagai pemimpin mereka. Sekarang mereka bersama-sama mencegat Quraisy dalam perjalanan itu. Setiap orang yang berhasil mereka tangkap, mereka bunuh dan setiap ada kafilah dagang tentu mereka rampas. Ketika itulah Quraisy menyadari bahwa hal ini merupakan suatu kerugian besar buat mereka, apabila kaum Muslimin itu masih tetap tinggal di Mekah. Mereka memperhitungkan, bahwa usaha mengurung orang yang benar-benar teguh imannya, lebih berbahaya daripada membebaskannya. Tentu ia akan mencari kesempatan lari. Ia akan melancarkan perang yang tak berkesudahan terhadap mereka yang mengurungnya, dan mereka juga yang akan rugi. Seolah teringat oleh Quraisy ketika Muhammad hijrah ke Medinah. Ia mencegat perjalanan kafilah mereka. Perbuatan semacam itu mereka kuatirkan akan diulangi oleh Abu Bashir.

Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi. Dimintanya supaya ia mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas itu kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak dari apa yang secara gigih disyaratkan oleh Suhail b. ‘Amr bahwa Muslimin Quraisy yang pergi menyeberang kepada Muhammad tidak seijin walinya harus di kembalikan ke Mekah. Dengan sendirinya syarat itu jadi gugur, yang dulu pernah membuat Umar bin’l-Khattab jadi gusar karenanya dan yang telah menyebabkan dia jadi marah-marah kepada Abu Bakr.

Selanjutnya Mulmammad telah menampung sahabat-sahabatnya itu dan jalan ke Syam itu pun kembali jadi aman.

Wanita-wanita MusliMat yang hijrah

Terhadap wanita-wanita Quraisy yang turut hijrah ke Medinah, Muhammad mempunyai pendapat lain lagi.

Setelah ada persetujuan gencatan senjata itu Umm Kulthum bt. ‘Uqba b. Mu’ait keluar dari Mekah. Saudaranya, ‘Umara dan Walid, yang kemudian menyusul, menuntut kepada Rasulullah supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiya. Akan tetapi Nabi menolak. Ia berpendapat, bahwa menurut hukum, kaum wanita tidak termasuk dalam persetujuan itu. Apabila ada wanita yang minta perlindungan, maka harus dilindungi. Disamping itu, bilamana wanita itu sudah masuk Islam, maka suaminya yang masih musyrik sudah tidak sah lagi. Mereka harus berpisah. Dalam hal inilah firman Tuhan datang:

“Orang-orang yang beriman. Apabila wanita-wanita yang beriman itu, datang hijrah kepada kamu hendaklah mereka itu kamu uji. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Bila kamu juga sudah mengetahui, bahwa mereka memang wanita-wanita yang beriman, jangan hendaknya mereka dikembalikan kepada orang-orang yang kafir. Mereka tidak halal buat (menjadi isteri) orang-orang kafir, dan orang-orang kafir itupun tidak halal buat (menjadi suami) mereka. Dan bayarkanlah kepada (suami-suami) mereka apa yang sudah mereka nafkahkan. Tiada salahnya kamu menikah dengan mereka itu kalau sudah kamu bayarkan maharnya. Dan janganlah kamu bertahan pada perkawinan wanita-wanita kafir, dan mintalah apa yang telah kamu nafkahkan, begitupun biarlah mereka juga minta apa yang telah mereka nafkahkan. Demikian itulah Dia memberikan keputusan antara sesama kamu. Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana.” (Qur’an, 60: 10)

Apa yang dilakukan Muhammad

Sekali lagi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi itu membuktikan kebenaran kebijaksanaan Muhammad. Membenarkan pandangannya yang jauh serta politiknya yang, tepat sekali. Selanjutnya membuktikan pula, bahwa ketika ia membuat Perjanjian Hudaibiya itu ia telah meletakkan dasar yang kukuh sekali dalam kebijaksanaan politik dan penyebaran Islam. Dan inilah kemenangan yang nyata itu.

Dengan adanya Pelianjian Hudaibiya ini segala hubungan antara Quraisy dengan Muhammad telah menjadi tenang sekali. Masing-masing pihak sudah merasa aman pula. Sekarang Quralsy semua mencurahkan perhatiannya pada perluasan perdagangannya, dengan harapan kalau-kalau semua kerugian yang dialaminya selama perang antara Muslimin dengan Quraisy itu dapat ditarik kembali; demikian juga ketika jalan ke Syam itu tertutup perdagangannya terancam akan mengalami kehancuran.

Sebaliknya Muhammad, ia mencurahkan perhatiannya pada soal kelanjutan menyampaikan ajarannya kepada seluruh umat manusia di segenap pelosok dunia. Pandangannya diarahkan dalam langkah mencapai sukses untuk ketenteraman umat Muslimin di seluruh jazirah. Bidang itulah yang dilakukannya dengan mengirimkan utusan-utusan kepada raja-raja pada beberapa negara, disamping mengosongkan orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab, yang semuanya itu selesai samasekali sesudah perang Khaibar.

Catatan kaki:

1 Asalnya badana atau badn, yaitu unta atau sapi yang di sembelih (A)

2 Sebuah desa enam atau tujuh mil jauhnya dari Medinah, tempat pertemuan penduduk Medinah yang akan pergi haji.

3 Usfan, sebuah desa terletak antara Mekah dan Medinah, sekitar 60 km dari Mekah.

4 Kira’l-Ghamim sebuah wadi di depan ‘Usfan, sekitar 8 mil (± 12 km).

5 Ahabisy ialah perkampungan di pegunungan (sebuah kabilah Arab ahli pelempar panah). Dinamakan demikian, karena warna kulit mereka yang hitam sekali, atau karena sifatnya yang mengelompok, atau juga di hubungkan pada Hubsy, nama sebuah gunung di hilir Mekah (lihat juga halaman 311).

6 Nama lengkapnya Abu Bashir ‘Utba b. Usaid (atau b. Asid seperti dalam As-Sirat’n-Nabawiya oleh Ibn Hisyam, jilid tiga, p. 337) dari Thaqif, karena keyakinan agamanya telah dipenjarakan oleh Quraisy di Mekah. Kemudian ia melarikan diri menyusul Nabi ke Medinah (A).