Senin, 01 Juni 2009

PERANG BADAR

Keberangkatan Abu Sufyan ke Syam

SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b. Abdullah at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum Muslimin dan agamanya serta menghalangi mereka dan jalan Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya melakukan pembunuhan dalam bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik-baiknya dengan mereka sudah tak ada lagi.
Pada permulaan musim rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan berangkat membawa perdagangan yang cukup besar, menuju Syam. Perjalanan dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke ‘Usyaira. Tetapi tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b. ‘Ubaidillah dan Sa’id b. Zaid menunggu berita-berita. Mereka berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di bilangan Haura’2, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad guna memberitahukan keadaan mereka.
Usaha Muslimin memotong jalan
Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua utusan itu dari Haura’ beserta kabar tentang kafilah yang akan dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta, sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir, kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh karena itu ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:
“Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana. Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu.”
Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam ingin bergabung karena mereka hanya ingin mendapatkan harta rampasannya saja. Tetapi Muhammad menolak penggabungan mereka ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan RasulNya.
Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke Syam. Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan. Sekarang ia tinggal menunggu berita tentang mereka itu, termasuk Kasyd Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di Haura’ itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani belum mempercayai berita tersebut, tapi berita tentang Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai juga kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad. Ia merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan kafilah hanya terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang saja.
Ketika itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. ‘Amr al-Ghifari supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy menolong harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang mengancam.
Setibanya di Mekah, ketika berada di tengah-tengah sebuah lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya, dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu sambil berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju yang sudah dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:
“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu pertolongan! Pertolongan!”
Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar Ka’bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang laki-laki berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata yang tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu sudah tidak perlu lagi dikerahkan karena setiap orang sudah punya saham sendiri-sendiri dalam kafilah itu.
Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah itu sebagian yang sudah merasakan adanya kekejaman Quraisy terhadap kaum Muslimin sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan kalau-kalau kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan. Mereka ini masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan kabilah Kinana ada tuntutan darah yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat menghadapi Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian ini hampir saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam saja, kalau tidak lalu datang Malik b. Ju’syum (Mudlij), seorang pemuka Banu Kinana.
“Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu sekalian.”
Dengan demikian orang-orang semacam Abu Jahl, ‘Amir al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang Muhammad dan pengikut-pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak ada alasan bagi orang yang mampu berperang itu yang akan tinggal di belakang atau akan menggantikannya kepada orang lain. Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan, kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh al-’Ash b. Hisyam b. Mughira. Orang ini punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak 4000 dirham yang tak dibayar sehingga ia bangkrut karenanya. Sedang Uamyya b. Khalaf sudah bertekad akan tinggal diam. Dia sebagai orang terpandang, yang sudah tua sekali usianya, badannya gemuk dan berat.
Ketika itu ia didatangi oleh ‘Uqba b. Abi Mu’ait dan Abu Jahl ke mesjid. ‘Uqba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya. ‘Uqba meletakkan tempat api itu di depannya seraya berkata:
“Abu Ali,3 gunakanlah perapian dan menyan ini, sebab kau wanita.”
“Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan,” kata Abu Jahl.
“Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini,” jawab Umayya.
Lalu iapun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorangpun yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.
Pada hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi s.a.w. berangkat dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan kepada ‘Amr b. Umm Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha’. Dalam perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua bendera hitam. Mereka membawa tujuhpuluh ekor unta, yang dinaiki dengan cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga orang dan setiap empat orang bergantian naik seekor unta. Dalam hal ini Muhammad juga mendapat bagian sama seperti sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b. Abi Talib dan Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. ‘Auf bergantian juga dengan seekor unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad dalam ekspedisi ini terdiri dari tiga ratus lima orang, delapanpuluh tiga di antaranya Muhajirin, enampuluh satu orang Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.
Karena dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang lagi, cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha mengikuti berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka berada.Tatkala sampai di ‘Irq’z-Zubya mereka bertemu dengan seorang orang Arab gunung yang ketika ditanyai tentang rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa. Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi bernama Dhafiran; di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah mereka mendapat berita, bahwa pihak Quraisy sudah berangkat dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.
Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri guna membela perdagangan mereka itu.
Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu Sufyan, dan beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan, unta beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun tentu akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah orang dan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan bertempur dan mengambil kembali harta mereka, atau bersedia mati untuk itu.
Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat semula, pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin. Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba dibuat-buat, sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu. Ya, apabila ia menyerah kepada situasi semacam itu, mustahil sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.
Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat. Kemudian Miqdad b. ‘Amr tampil mengatakan:
“Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah. Kami akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang berkata kepada Musa: “Pergilahkamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang.”
Semua orang diam.
“Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku,” kata Rasul lagi. Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan Ikrar ‘Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah.
Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud, maka Sa’d b. Musadh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada Muhammad.
“Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami,” katanya.
“Ya,” jawab Rasul.
“Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan,” kata Sa’d pula, “Kamipun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang telah mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak seorangpun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan berkah Tuhan.”
Begitu Sa’d selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:
“Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas salah satunya dari dua kelompok4 itu. Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku.”
Merekapun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada suatu tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri. Ia menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia menanyakan Quraisy dan menanyakan Muhammad dan sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.
Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b. Abi Talib, Zubair bin’l-Awwam, Sa’d b. Abi Waqqash serta beberapa orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan berita-berita dari sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera kembali dengan membawa dua orang anak. Dari kedua orang ini Muhammad mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik bukit pasir di tepi ujung Wadi.5 Ketika mereka menjawab, bahwa mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya lagi oleh Muhammad:
“Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?”
“Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor,” jawab mereka.
Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua anak itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta memperkuat diri
Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya: “Lihat. Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga bangsanya kepada kita.”
Berangkat dengan sukses
Mau tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus berhadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh lebih besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus mengadakan persiapan mental menghadapi kekerasan itu. Mereka harus siap menunggu suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.
Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang anak yang membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya lalu berangkat lagi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat air, dikeluarkannya tempat persediaan airnya, dan di sini mereka mengisi air itu.
Sementara mereka berada di tempat air, terdengar ada suara seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih hutang kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:
“Kafilah dagang besok atau lusa akan datang. Pekerjaan akan kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar.”
Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah mereka dengar itu kepada Muhammad.
Perdagangan Abu Sufyan selamat
Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan Majdi b. ‘Amr.
“Ada kau melihat orang tadi?” tanyanya.
Majdi menjawab bahwa ia melihat ada dua orang berhenti di bukit itu sambil ia menunjuk ke tempat dua orang laki-laki Muslim itu tadi berhenti. Abu Sufyanpun pergi mendatangi tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada kotoran dua ekor unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.
Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan membatalkan perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya dengan Muhammad sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.
Quraisy dan Muslimin ragu-ragu akan berperang
Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika itu datang firman Tuhan:
“Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari dua keIompok (musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang tidak bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan merabut akar orang-orang yang tak beriman itu.”6
Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka berperang, perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak Islam kembali ke tempat mereka. Abu Sufyan juga berpikir begitu. Itu sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta harta-benda kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan. Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga mendukung pendapat ini.
Quraisy mengetahui persiapan Muslimin
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
“Kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak, kita makan-makan, minum-minum khamr, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita.”
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh orang-orang Arab – menurut pendapat Abu Jahl – bahwa mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b. Jahsy, terbunuhnya Ibn’l-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya orang-orang Quraisy.
Ditunggu kembalinya
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati mereka.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat menuju ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah bukit pasir.
Mereka berangkat ke Badr
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu merekapun segera berangkat ke tempat mata air di Badr itu, dan perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
“Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?”
“Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,” jawab Muhammad.
“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh mengusulkan:
“Rasulullah,”7 katanya, “kami akan membuatkan sebuah dangau buat tempat Tuan tinggal, kendaraan Tuan kami sediakan. Kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi; dengan kendaraan itu Tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”
Muhammad sangat menghargai dan menerima baik saran Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun. Jadi bila nanti kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan sahabat-sahabatnya di Yathrib.
Disini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi, sungguhpun begitu, mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup melawan. Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu karena bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur, mereka selalu siap disamping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi Nabi, hendak menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Posisi kedua belah pihak di Badr
Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu yang akan terbunuh, sehingga Mekah sendiri nanti akan kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut kepada Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil ‘Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka itu sambil berkata:
“Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendin yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya, dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, maka itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Mendengar kata-kata ‘Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:
“Sekutumu ini ingin supaya orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!”8
‘Amir segera bangkit dan berteriak:
“O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. ‘Abd’l-Asad (Makhzum) keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah ‘Utba b. Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. ‘Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh pemuda-pemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata lagi:
“Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami.”
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
“Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!”
Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan ‘Ubaida bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan. Lalu keduanya segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang diterkam oleh ‘Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi Jum’at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka.
Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak buahnya sedikit sekali, disamping perlengkapan yang sangat lemah dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu, sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
Doa Muhammad
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam permohonan, sambil berkata:
“Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan RasulMu. Ya Allah, pertolonganMu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepadaMu.”
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah; dengan penuh khusyu’ dan kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat dan pertolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya; dikerahkannya mereka sambil berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.
Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajurit-prajurit Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsa-bangsa di dunia.
Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian disamping kewajibannya disisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itupun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia dapat mengawasi – dengan kemampuan morilnya – segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya kekuatan materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah kuat lagi tatkala Muhammad dan sahabat-sahabatnya dapat mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan perlengkapan yang sangat sedikit itu telah rnendapat kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang demikian inilah kedua ayat ini turun:
“O Nabi! Bangunkanlah semangat orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah duapuluh orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus orang. Bila kamu berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang kafir; sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa pada kamu masih ada kelemahan. Maka, jika kamu berjumlah seratus orang yang tabah, akan dapat mengalahkan duaratus orang, dan jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan duaribu dengan ijin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang berhati tabah.” (Qur’an, 8:55-56.)
Hilangnya keraguan
Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu.”
Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
“Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya:
“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos.”
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh b. ‘Amr b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan pahlawan-pahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru: Ahad, Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.
Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu kearah mereka. Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando: “Serbu!”
Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: ‘Aku bersama kamu.’ Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.” (Qur’an, 8: 12)
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan juga.” (Qur’an, 8: 17)
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari – salah seorang yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang telah menimpa mereka semua.
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi! Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …” – Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi itu satu satu. “Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu,” jawab Rasul.
“Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.
“Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali tidak, Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra’, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.” (Qur’an, 8: 41)
Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya – bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harith dan yang seorang lagi bernama ‘Uqba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang berada di sampingnya:
“Muhammad pasti akan membunuh aku,” katanya.
“Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.”
“Ini hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair – orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,” kata Mushiab.
“Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,” kata Mush’ab.
“Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya.
“Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam perjalanan ke ‘Irq’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba b. Abi Mu’ait juga dibunuh.
“Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?”
“Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Semangat dan Kemenangan
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
“Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan,” tenak mereka. “Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan, pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendapat bencana.”
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah Banu ‘Afra’, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:
“Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah.
“Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
“Rasulullah,” katanya. “Demi Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:
“Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
“Rasulullah,” katanya. “Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata:
“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an, 21: 67)
Atau seperti katanya: “Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)

SATUAN-SATUAN DAN BENTROKAN-BENTROKA PERTAMA

Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang pertama

SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu? Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat, bahwa mereka – dan terutama Muhammad – telah memikirkan akan mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja, yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian ‘Aqaba itu. Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj tentang dia.
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa yang telah terjadi delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b. Abd’l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar ‘Ish dengan membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini ia bertemu dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri dari penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan memerangi Quraisy tapi lalu dilerai oleh Majdi b. ‘Amr yang bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga ketika Muhammad mengirimkan ‘Ubaida bin’l-Harith dengan 60 orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang disebut Wadi Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok Quraisy yang terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu telah melepaskan anak panahnya, “dan itu adalah anak panah pertama dilepaskan dalam Islam.” Demikianlah ketika Said bin Abi Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang Muhajirin menurut satu sumber atau 20 orang menurut sumber yang lain. Kemudian mereka kembali karena tidak bertemu siapa-siapa.

Nabi berangkat sendiri

Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan, bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada Sa’d b. ‘Ubada. Ia pergi ke Abwa’,. Sesampainya di Waddan ia bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra; tetapi Quraisy tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar – menuju Buwat dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin o]eh Umayya b. Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100 orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi, sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd’l-Asad, ia berangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua ratus orang lebih sampai di ‘Usyaira di pedalaman Yanbu’. Ia tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.) sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu Dzamra; dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi Kurz sudah menghilang.

Pendapat ahli-ahli sejarah tentang ekspedisi pertama

Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti, bahwa kaum Muhajirin – dan terutama Muhammad – memang sudah memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya – menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu – ini membuktikan, bahwa dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap kafilah-kafilah Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang dagangan yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang jalan Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap kafilah-kafilah Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan mencegah kaum Muslimin – selaku pihak yang berkuasa dan kuat -bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda mereka itu. Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya diserahkan masing-masing kepada Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan ‘Ubaida tidak lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa’d yang menurut suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 20 orang. Sedang petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad tinggal di Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang berdekatan, pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan perlengkapannya. Baik Hamzah, ‘Ubaida ataupun Sa’d, betapapun keberanian mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin, namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua, kiranya cukup dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang anak panah, yang pernah dilepaskan Sa’d itu.
Disamping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar ‘Aqaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapapun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Pendapat kami tentang satuan-satuan ini
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menyudutkan perdagangan Quraisy
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Ka’bah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi b. ‘Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi – setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin – ingin mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Anshar dan perang Agresi
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan ‘Usyaira itu tidak sedikit kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya. Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya, bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain, ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan satuan-satuan Hamzah, ‘Ubaida bin’l-Harith dan Sa’d bin Abi Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa’, Buwat dan ‘Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan, adalah sangat dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah, dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang membuat kita menduga mereka sudah mengetahui hal ini – disamping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula mereka tinggal di Medinah – ialah karena mereka sudah menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan bahwa kebiasaan merampok sudah menjadi watak orang-orang pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik pada barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar janji mereka di ‘Aqaba.
Watak penduduk Medinah
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah – seperti juga penduduk Mekah – bukanlah orang-orang pedalaman yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, merekapun lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun begitu mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya peristiwa Badr. Juga bukan itu pula yang telah mendorong dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan ala pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis, melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah, supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam pada itu ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk agama Allah tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah bagi Allah.

Menakut-nakuti Yahudi
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad. Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah, pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta melaksanakan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah, atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar, membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj dengan menyebut-nyebut sejarah Bu’ath dan cerita yang terdapat dalam persajakan.
Intrik-intrik Yahudi
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka. Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta menghadapkannya pada benterokan-benterokan senjata pada beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga diinginkan oleh pihak Quraisy.
Islam dan Perang
Tipu-daya inilah yang sudah terjadi. Dan terjadinya ini terhadap orang semacam Hamzah, orang yang cepat marah. Untuk menghentikan pertempuran tidak cukup hanya dengan perantaraan seorang pemisah yang mengajak berdamai padahal belum terjadi suatu kontak senjata. Kemudian berhentinya pertempuran itupun dengan terhormat, dengan suatu siasat yang sudah teratur, dengan taktik yang jelas bermaksud mencapai tujuan-tujuan tertentu, yakni seperti yang sudah kita sebutkan – dari satu segi guna menakut-nakuti pihak Yahudi, dan dari segi lain suatu usaha ke arah persetujuan dengan pihak Quraisy untuk memberikan kebebasan yang penuh dalam menjalankan dakwah agama serta upacara-upacara keagamaan, yang sebenarnya memang tidak perlu sampai terjadi perang.
Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Islam menolak perang dalam hal membela diri dan membela keyakinan terhadap siapa saja yang hendak memperdayanya. Sekali-kali tidak. Bahkan Islam mewajibkan pembelaan demikian ini. Tetapi artinya, Islam masa itu, juga sekarang dan demikian pula seterusnya, ia menolak perang permusuhan.
“Dan janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran.” (Qur an, 2: 190)
Apabila kepada Muhajirin pada waktu itu dibenarkan menuntut harta-benda mereka yang telah ditahan oleh Quraisy ketika mereka hijrah, maka membela orang-orang beriman yang mau diperdaya dari agama mereka lebih-lebih lagi dibenarkan. Untuk maksud inilah pertama sekali hukum perang itu diundangkan.
Bukti terhadap hal ini ialah adanya ayat-ayat yang diturunkan sehubungan dengan satuan Abdullah ibn Jahsy. Dalam bulan Rajab tahun itu ia dikirimkan oleh Rasulullah bersama-sama beberapa orang Muhajirin, dan sepucuk surat diberikan kepadanya dengan perintah untuk tidak dibuka sebelum mencapai dua hari perjalanan. Ia menjalankan perintah itu. Kawan-kawannyapun tak ada yang dipaksanya. Dua hari kemudian Abdullah membuka surat itu, yang berbunyi: “Kalau sudah kaubaca surat ini, teruskan perjalananmu sampai ke Nakhla (antara Mekah dan Ta’if) dan awasi keadaan mereka. Kemudian beritahukan kepada kami.”

Disampaikannya hal ini kepada kawan-kawannya dan bahwa dia tidak memaksa siapapun. Kemudian mereka semua berangkat meneruskan perjalanan, kecuali Said b. Abi Waqqash (Banu Zuhra) dan ‘Utba b. Ghazwan yang ketika itu sedang pergi mencari untanya yang sesat tapi oleh pihak Quraisy mereka lalu ditawan.
Sekarang Abdullah dan rombongannya meneruskan perjalanan sampai ke Nakhla. Di tempat inilah mereka bertemu dengan kafilah Quraisy yang dipimpin oleh ‘Amr bin’l-Hadzrami dengan membawa barang-barang dagangan. Waktu itu akhir Rajab. Teringat oleh Abdullah b. Jahsy dan rombongannya dari kalangan Muhajirin akan perbuatan Quraisy dahulu serta harta-benda mereka yang telah dirampas. Mereka berunding. “Kalau kita biarkan mereka malam ini mereka akan sampai di Mekah dengan bersenang-senang. Tapi kalau mereka kita gempur, berarti kita menyerang dalam bulan suci,2″ kata mereka.
Mereka maju-mundur, masih takut-takut akan maju. Tetapi kemudian mereka memberanikan diri dan sepakat akan bertempur, siapa saja yang mampu dan mengambil apa saja yang ada pada mereka. Salah seorang anggota rombongan itu melepaskan panahnya dan mengenai ‘Amr bin’l-Hadzrami yang kemudian tewas. Kaum Muslimin menawan dua orang dari Quraisy.
Sesampainya di Medinah Abdullah b. Jahsy membawa kafilah dan kedua orang tawanannya itu kepada Rasul, dan kelima barang rampasan itu diserahkan mereka kepada Muhammad. Tetapi setelah melihat mereka ini ia berkata, “Aku tidak memerintahkan kamu berperang dalam bulan suci.”
Kafilah dan kedua tawanan itu ditolaknya. Samasekali ia tidak mau menerima. Abdullah b. Jahsy dan teman-temannya merasa kebingungan sekali. Teman-teman sejawat mereka dari kalangan Musliminpun sangat menyalahkan tindakan mereka itu.
Kesempatan ini oleh Quraisy sekarang dipergunakan. Disebarkannya provokasi kesegenap penjuru, bahwa Muhammad dan kawan-kawannya telah melanggar bulan suci, menumpahkan darah, merampas harta-benda dan menawan orang. Karena itu orang-orang Islam yang berada di Mekahpun lalu menjawab, bahwa saudara-saudara mereka seagama yang kini hijrah ke Medinah melakukan itu dalam bulan Sya’ban. Lalu datang orang-orang Yahudi turut mengobarkan api fitnah. Ketika itulah datang firman Tuhan:
“Mereka bertanya kepadamu tentang perang dalam bulan suci. Katakanlah: “Perang selama itu adalah soal (pelanggaran) besar. Tetapi menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkari-Nya, menghalangi orang memasuki Mesjid Suci dan mengusir orang dari sana, bagi Allah lebih besar (pelanggarannya). Fitnah itu lebih besar dan pembunuhan. Dan mereka akan tetap memerangi kamu, sampai mereka berhasil memalingkan kamu dari agamamu, kalau mereka sanggup.” (Qur’an, 2: 217)
Dengan adanya keterangan Qur’an dalam soal ini hati kaum Muslimin merasa lega kembali. Penyelesaian kafilah dan kedua orang tawanan itu kini di tangan Nabi, yang kemudian oleh Quraisy akan ditebus kembali. Tetapi kata Nabi:
“Kami takkan menerima penebusan kamu, sebelum kedua sahabat kami kembali – yakni Sa’d b. Abi Waqqash dan ‘Utba ibn Ghazwan. Kami kuatirkan mereka di tangan kamu. Kalau kamu bunuh mereka, kawan-kawanmu inipun akan kami bunuh.”
Setelah Said dan ‘Utba kembali, Nabi mau menerima tebusan kedua tawanan itu. Tapi salah seorang dari mereka, yaitu Al-Hakam b. Kaisan masuk Islam dan tinggal di Medinah, sedang yang seorang lagi kembali kepada kepercayaan nenek-moyangnya.
Pasukan Abdullah b. Jahsy ini dan ayat suci yang diturunkan karenanya itu, patut sekali kita pelajari. Menurut hemat kami, ini adalah suatu persimpangan jalan dalam politik Islam. Kejadian ini merupakan peristiwa baru, yang memperlihatkan adanya jiwa yang kuat dan luhur, suatu kekuatan yang bersifat insani, meliputi seluk-beluk kehidupan material, moral dan spiritual. Ia begitu kuat dan luhur dalam tujuannya hendak mencapai kesempurnaan. Quran memberikan jawaban kepada mereka yang ikut bertanya tentang perang dalam bulan suci: adalah itu termasuk pelanggaran-pelanggaran besar, yang diiakan bahwa itu memang masalah besar. Tetapi ada yang lebih besar dari itu. Menghalangi orang dari jalan Allah serta mengingkari-Nya adalah lebih besar dari perang dan pembunuhan dalam bulan suci, dan memaksa orang meninggalkan agamanya dengan ancaman, dengan bujukan atau kekerasan adalah lebih besar daripada membunuh orang dalam bulan suci atau bukan dalam bulan suci. Orang-orang musyrik dan Quraisy yang telah menyalahkan kaum Muslimin karena mereka melakukan perang dalam bulan suci mereka akan selalu memerangi umat Islam supaya berpaling dari agamanya bila mereka sanggup. Apabila pihak Quraisy dan orang-orang musyrik itu semua melakukan pelanggaran-pelanggaran ini, menghalangi orang dari jalan Allah dan mengingkariNya, apabila mereka ternyata mengusir orang dari Mesjid Suci, memperdayakan orang dari agamanya, maka jangan disalahkan orang yang menjadi korban penindasan dan pelanggaran itu bila ia juga memerangi mereka dalam bulan suci. Tetapi bagi orang yang tidak mengalami beban penderitaan ini, melakukan perang dalam bulan suci memang suatu pelanggaran.
Fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. Memang benar. Bahkan barangsiapa melihat orang lain mencoba membujuk atau memfitnah orang dari agamanya atau mengalangi dari jalan Allah ia harus berjuang demi Allah melawan fitnah itu sampai agama dapat diselamatkan. Di sinilah kalangan Orientalis dan misi-misi penginjil itu mengangkat suara keras-keras: Lihatlah tuan-tuan! Muhammad dan agamanya itu menganjurkan orang berperang dan berjuang demi Allah (aljihad fi sabilillah) atau memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Bukankah ini yang namanya fanatik? Sedang agama Kristen tidak mengenal adanya peperangan dan membenci perang. Sebaliknya malah menganjurkan toleransi, memperkuat tali persaudaraan antara sesama manusia, untuk Tuhan dan untuk Jesus.
Sebenarnya saya tidak ingin berdebat dengan mereka, kalau saya mengutip sebuah kalimat saja dalam Injil: “Bukannya Aku datang membawa keamanan, melainkan pedang” dan seterusnya juga tidak tentang arti yang terkandung dalam kalimat tersebut. Umat Islam mengakui agama Isa itu seperti sudah disebutkan dalam Qur’an. Tetapi yang terutama perlu saya sampaikan ialah menjawab kata-kata mereka: Muhammad dan agamanya menganjurkan perang dan memaksa orang masuk Islam dengan pedang. Ini adalah suatu kebohongan yang ditolak oleh Qur’an:
“Tak ada pemaksaan dalam agama. Sudah jelas mana jalan yang benar, mana yang salah.” (Qur’an, 2: 256)
“Berjuanglah kamu untuk Allah melawan mereka yang memerangi kamu. Tetapi janganlah kamu melakukan pelanggaran (agresi) sebab Allah tidak menyukai orang-orang yang melakukan pelanggaran .” (Qur’an, 2: 190)
Dan masih banyak ayat-ayat lain selain dari kedua ayat suci tersebut.
Dalam arti yang sebenarnya, berjuang demi Allah, ialah seperti disebutkan dalam ayat-ayat yang kita kutip tadi dan yang turun sehubungan dengan pasukan Abdullah b. Jahsy, yaitu memerangi mereka yang membuat fitnah dan membujuk si Muslim dari agamanya atau mengalanginya dari jalan Allah. Perang dalam arti untuk kebebasan berdakwah agama. Atau dengan kata lain menurut bahasa sekarang: Mempertahankan idea dengan senjata yang dipergunakan oleh pihak yang memerangi idea itu. Apabila ada seseorang yang hendak membujuk orang lain dengan jalan propaganda dan logika tanpa memaksanya dengan atau tanpa kekerasan melalui cara-cara suap-menyuap atau penyiksaan dengan maksud supaya orang itu meninggalkan ideanya – maka sudah tentu ia akan menghadapi orang itu dengan jalan menggugurkan argumen dan logikanya tadi.
Tetapi, apabila dalam usahanya menghadapi orang dan ideanya itu ia menggunakan kekerasan senjata maka kekerasan senjata itupun harus dilawan dengan kekerasan senjata pula, bila memang mampu ia berbuat begitu. Tidak lain sebabnya ialah, karena harga diri manusia itu tersimpul hanya dalam sepatah kata saja, yaitu: akidahnya. Akidah itu lebih berharga – bagi orang yang mengenal arti kemanusiaan – daripada harta, daripada kekayaan, kekuasaan dan daripada hidupnya sendiri; hidup materi yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan hewan, sama-sama makan dan minum, mengalami pertumbuhan tubuh dan enersi. Akidah adalah suatu komunikasi moral antara manusia dengan manusia, dan komunikasi rohani antara manusia dengan Tuhan. Nasib inilah yang telah memberikan kelebihan kepada manusia di atas makhluk lain dalam hidup ini, yang membuat dia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Ia mengutamakan orang yang hidup sengsara, hidup miskin dan tidak punya, daripada keluarganya sendiri, meskipun keluarganya itu sedang dalam kekurangan. Ia mengadakan komunikasi dengan alam semesta supaya bekerja secara tekun, supaya dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan hidup seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya
Apabila akidah yang semacam ini yang ada pada manusia, lalu ada orang lain yang mau membuat fitnah, mau menceraikannya, sedang dia tak dapat membela diri, ia harus berbuat seperti dilakukan orang-orang Islam dulu sebelum mereka hijrah ke Medinah. Dideritanya segala perbuatan kejam dan serba kekerasan itu, dihadapinya segala penghinaan dan ketidakadilan, dengan hati yang tabah. Rasa lapar dan serba kekurangan yang bagaimanapun juga tidak sampai menghalangi semangatnya berperang terus pada akidahnya.
Inilah yang telah dilakukan oleh orang-orang Islam dahulu, dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen dahulu.
Akan tetapi mereka yang tabah mempertahankan akidah itu bukanlah orang-orang kebanyakan. Mereka terdiri dari manusia-manusia terpilih, yang telah diberi kekuatan iman oleh Tuhan, sehingga karenanya akan terasa kecil segala siksaan dan kekejaman yang dialaminya, sehingga dapat ia meratakan gunung-gunung, dan apa yang dikatakannya kepada gunung supaya pindah dari tempatnya, gunung itu akan pindah – seperti kata Injil juga. Tetapi jika orang menangkis fitnah dengan senjata yang dipakai membuat fitnah itu dan dapat menolak pihak yang akan menghalanginya dari jalan Allah dengan cara yang dipakainya itu pula, maka orang itu harus melakukannya. Kalau tidak ini berarti, akidahnya masih goyah, imannyapun masih lemah.
Inilah yang telah dilakukan oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya setelah keadaannya di Medinah mulai stabil. Dan ini pula yang telah dilakukan oleh orang-orang Kristen setelah kekuasaan mereka di Rumawi dan Rumawi Timur mulai stabil, dan sesudah hati maharaja-maharaja Rumawi itu mulai pula lunak terhadap agama Kristen.
Misi-misi penginjil itu berkata: Tetapi jiwa Kristen itu secara mutlak menjauhkan diri dari peperangan. Di sini saya tidak bermaksud membahas benar tidaknya kata-kata itu. Akan tetapi di hadapan kita sejarah Kristen adalah saksi yang jujur, juga di hadapan kita sejarah Islam adalah saksi yang jujur pula. Sejak masa permulaan agama Kristen hingga masa kita sekarang ini seluruh penjuru bumi telah berlumuran darah atas nama Almasih. Telah dilumuri oleh Rumawi, dilumuri oleh bangsa-bangsa Eropa semua. Perang-perang Salib terjadi karena dikobarkan oleh orang-orang Kristen, bukan oleh orang Islam. Mengalirnya pasukanpasukan tentara sejak ratusan tahun dari Eropa menuju daerah-daerah Islam di Timur, adalah atas nama Salib: peperangan, pembunuhan, pertumpahan darah. Dan setiap kali, paus-paus sebagai pengganti Jesus, memberi berkah dan restu kepada pasukan-pasukan tentara itu, yang bergerak maju hendak menguasai Bait’l-Maqdis (Yerusalem) dan tempat-tempat suci Kristen lainnya.
Adakah barangkali paus-paus itu semua orang-orang yang sudah menyimpang dari agamanya (heretik) ataukah kekristenan mereka itu yang palsu? Ataukah juga karena mereka itu pembual-pembual yang bodoh, tidak mengetahui bahwa agama Kristen secara mutlak menjauhkan diri dari perang? Atau akan berkata: Itu adalah Abad Pertengahan, abad kegelapan; janganlah agama Kristen juga yang diprotes. Kalau itu juga yang kadang mereka katakan, maka abad keduapuluh ini, masa kita hidup sekarang inipun, yang biasa disebut abad kemajuan dan humanisma – toh dunia juga telah mengalami nasib seperti yang dialami oleh Abad-abad Pertengahan yang gelap itu. Sebagai wakil Sekutu – Inggeris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika Lord Allenby berkata di Yerusalem, pada penutup Perang Dunia Pertama, ketika kota itu didudukinya dalam tahun 1918: “Sekarang Perang Salib sudah selesai.”
Orang-orang suci dalam Islam dan Kristen
Apabila di kalangan orang-orang Kristen ada orang-orang suci yang dalam berbagai zaman menolak adanya perang dan dalam arti persaudaraan insani mereka telah mencapai puncaknya, bahkan persaudaraannya dengan unsur-unsur alam semesta, maka di kalangan kaum Muslimin juga ada orang-orang suci, yang jiwanya sudah begitu luhur. Mereka mengadakan komunikasi dalam arti persaudaraan, kasih-sayang dan emanasi dengan alam semesta ini, dengan jiwa yang sudah sarat oleh pengertian kesatuan wujud. Tetapi orang-orang suci itu – baik dari kalangan Kristen atau Islam – kalaupun mereka sudah mencerminkan cita-cita yang luhur, namun mereka tidak menterjemahkan kehidupan insani dalam perkembangannya yang terus-menerus serta dalam perjuangannya mencapai kesempurnaan, yakni kesempurnaan yang hendak kita coba mencerminkannya. Lalu pikiran kita terhenti, imajinasi kita terhenti, tanpa dapat kita pahami seteliti-telitinya, meskipun dalam menggambarkan itu kita sudah cukup mengambil risiko sebagai pendahuluan usaha kita kearah itu.
Dan kini sudah lampau masa seribu tiga ratus limapuluh tujuh tahun sejak hijrahnya Nabi dari Mekah ke Yathrib itu. Tetapi meskipun begitu dalam berbagai zaman manusia makin hebat juga berlumba-lumba melakukan perang, membuat senjata-senjata jahanam dan fatal. Kata-kata mencegah perang, penghapusan persenjataan dan menunjuk badan arbitrasi, tidak lebih dari kata-kata yang biasa diucapkan pada setiap selesai perang, waktu bangsa-bangsa sedang mengalami kehancuran. Atau ini hanya serangkaian propaganda yang dilontarkan ketengah-tengah kehidupan oleh orang-orang yang sampai sekarang belum mampu – dan siapa tahu barangkali takkan pernah mampu – mewujudkan hal ini, mewujudkan perdamaian yang sebenarnya, perdamaian dengan rasa persaudaraan dan rasa keadilan, sebagai ganti perdamaian bersenjata, sebagai lambang perang yang akan mengantarkan kita kepada kehancuran.
Islam agama kodrat
Islam bukan agama ilusi dan khayal, juga bukan agama yang terbatas mengajak individu saja mencapai kesempurnaan, tapi Islam adalah agama kodrat (fitrah), yang dengan itu seluruh umat manusia, dalam arti individu dan masyarakat, dikodratkan. Ia adalah agama yang didasarkan pada kebenaran, kebebasan dan tata-tertib. Dan oleh karena perang adalah kodrat manusia juga, maka membersihkan atau mengoreksi pikiran tentang perang dalam jiwa kita lalu menempatkannya kedalam batas-batas kemampuan manusia yang maksimal, adalah cara yang mungkin dapat dicapai oleh kodrat manusia itu, dan yang akan melahirkan kelangsungan evolusi hidup umat manusia dalam mencapai kebaikan dan kesempurnaannya.
Koreksi atas konsepsi perang ini yang paling baik ialah hendaknya jangan sampai terjadi perang kecuali untuk membela diri, membela keyakinan dan kebebasan berpikir serta berusaha kearah itu. Hendaknya rasa harga diri umat manusia secara integral benar-benar dipelihara.
Inilah yang sudah. menjadi ketentuan Islam seperti yang sudah kita lihat dan yang akan kita lihat nanti. Ini pulalah yang digariskan oleh Qur’an seperti yang sudah dan yang akan kita kemukakan kepada pembaca mengenai peristiwa-peristiwa serta hubungannya maka Qur’an itu diturunkan.

TAHUN PERTAMA DI YATSRIB

Yathrib Menyambut Muhajir Besar

BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.

Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua alasan ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap golongan, setiap kabilah dari penduduk Yathrib, dari segi politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka menyongsong keluar, daripada sekedar ingin melihat orang ini. Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik diri.

Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin, baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati masing-masing terhadap pendatang orang besar itu, denyutan jantung merekapun tidak sama pula satu sama lain. Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri, dengan agak kurang teratur karena masing-masing ingin memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah terlukis dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat Ikrar Aqaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini – guna melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy; orang yang telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan tindakan kekerasan dari mereka selama tigabelas tahun terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah, tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.

Pembinaan Mesjid dan Tempat-tempat Tinggal Nabi

Unta yang dinaiki Nabi alaihi ssalam berlutut di tempat penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian tempat itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara tempat itu dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.

Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada malam hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada mesjid, meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.

Kebebasan Beragama Bagi Seluruh Penduduk Yathrib

Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir olehnya akan adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah membawanya dan membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal. Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku-suku itu semuanya merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram, jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa ketenteraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi, bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan. Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal kerasulannya sampai Rada waktu hijrah. Karena takut akan penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima iman itu.

Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah akan segera pula menerima iman itu.

Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad, ia tinggal di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah memikirkan kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh tujuannya ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam menganut kepercayaan agama masing-masing. Baik bagi seorang Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan kehancuran

Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar Aqaba kedua berkata kepadanya?

“Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedang kami.”

Dijawabnya:

“Kami tidak diperintahkan untuk itu.”

Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?

“Diijinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa menolong mereka.” (Qur’an, 8: 39)

Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman?

“Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah.” (Qur’an, 2: 193)

Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.

Orang-orang Yahudi Medinah

Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengenai masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka penduduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain. Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin – Muhajirin dan Anshar – orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj – sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan. Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya

Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi dengan tiada ragu-ragu merekapun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, -bangsa pilihan Tuhan – dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan tanah air mereka itu.

Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.

Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib – tanah airnya yang baru – ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.

Muhammad Mempersaudarakan Kaum Muhajirin Dengan Anshar

Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu Abu Bakr dan Umar – demikianlah mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b. Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar ibn’l-Khattab, bersaudara dengan ‘Itban b. Malik al-Khazraji. Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib – sesudah mereka yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah setelah Rasul hijrah – dipersaudarakan pula dengan setiap orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum saudara sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.

Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramahtamahan yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta-benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang akan dimakan disamping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan selain Usman b. ‘Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah.

Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya dengan permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya. Abdur-Rahman b. ‘Auf yang sudah bersaudara dengan Sa’d bin’r-Rabi’ ketika di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa’d menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak berapa lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada salah seorang wanita Medinah. Bahkan sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan. Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang telah melakukan hal serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian orang-orang Mekah itu dalam bidang perdagangan sampai ada orang mengatakan: dengan perdagangannya itu ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas.

Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang, diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian, menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama-sama pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang harus menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu, mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak pernah mereka rasakan.

Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid yaitu shuffa [bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.

Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl’sh-Shuffa (Penghuni Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupun.

Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang hendak merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar. Akan tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang menunjukkan adanya kemampuan luarbiasa, ialah apa yang telah dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib dan meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan dapat dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis. Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam shalat masih menghadap ke Bait’l-Maqdis, titik perhatian mereka, tempat terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia makin sehari makin bertambah erat dan dekat juga.

Orang yang begitu mulia, sangat rendah hati, orang yang penuh kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka bagi si miskin, bagi orang yang hidup menderita, ini juga yang memberikan kewibawaan kepadanya terhadap penduduk Yathrib. Dan semua ini telah sampai kepada suatu ikatan perjanjian persahabatan dan persekutuan serta menetapkan adanya kebebasan beragama. Perjanjian ini – menurut hemat kita – merupakan suatu dokumen politik yang patut dikagumi sepanjang sejarah. Dan fase yang dialami dalam sejarah hidup Rasul ini belum pernah dialami oleh seorang nabi atau rasul lain. Pernah ada Isa, ada Musa, ada nabi-nabi yang lain sebelum itu. Mereka terbatas hanya pada dakwah agama saja. Mereka menyampaikan itu kepada orang dengan jalan berdebat, dengan jalan mujizat. Sesudah itu mereka tinggalkan ditangan para penguasa yang kemudian, dan untuk menyiarkan dakwahnya itu harus dilakukan dengan kekuatan politik dan membela kebebasan orang yang sudah beriman kepadanya itu dengan kekuatan senjata yang disertai peperangan pula. Agama Kristen disiarkan oleh murid-muridnya yang kemudian sesudah Isa. Mereka dan pengikut-pengikut mereka masih selalu mengalami siksaan. Baru setelah ada raja-raja yang cenderung kepada agama ini, ia dilindunginya dan disiarkan. Begitu juga halnya dengan agama lain, di dunia Timur ataupun di Barat.

Sebaliknya Muhammad, tersebarnya Islam serta menangnya misi kebenaran itu harus berada ditangannya. Ia menjadi Rasul, menjadi negarawan, pejuang dan penakluk. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani par exellence dalam arti kata yang sebenarnya.

Perjanjiannya Dengan Yahudi Menetapkan Kebebasan Beragama

Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan orang-orang Yahudi, Muhammad membuat suatu perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta-benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik, demikian bunyinya :

“Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad – Nabi; antara orang-orang beriman dan kaum Muslimin dari kalangan Quraisy dan Yathrib serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu umat di luar golongan orang lain.

“Kaum Muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku2 di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah3 antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman.

“Bahwa Banu Auf adalah tetap menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, bersama-sama membayar tebusan darah seperti yang sudah-sudah. Dan setiap golongan harus menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil diantara sesama orang-orang beriman.”

Kemudian disebutnya tiap-tiap suku4 Anshar itu serta keluarga tiap puak: Banu’l-Harith, Banu Saida, Banu Jusyam, Banu’n-Najjar, Banu ‘Amr b. ‘Auf dan Banu’n-Nabit. Selanjutnya disebutkan,

“Bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan seseorang yang menanggung beban hidup dan hutang yang berat diantara sesama mereka. Mereka harus dibantu dengan cara yang baik dalam membayar tebusan tawanan atau membayar diat.

“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh mengikat janji dalam menghadapi mukmin lainnya.

“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa harus melawan orang yang melakukan kejahatan diantara mereka sendiri, atau orang yang suka melakukan perbuatan aniaya, kejahatan, permusuhan atau berbuat kerusakan diantara orang-orang beriman sendiri, dan mereka semua harus sama-sama melawannya walaupun terhadap anak sendiri.

“Bahwa seseorang yang beriman tidak boleh membunuh sesama mukmin lantaran orang kafir untuk melawan orang beriman.

“Bahwa jaminan Allah itu satu: Dia melindungi yang lemah diantara mereka.

“Bahwa orang-orang yang beriman itu hendaknya saling tolong-menolong satu sama lain.

“Bahwa barangsiapa dari kalangan Yahudi yang menjadi pengikut kami, ia berhak mendapat pertolongan dan persamaan; tidak menganiaya atau melawan mereka

“Bahwa persetujuan damai orang-orang beriman itu satu; tidak dibenarkan seorang mukmin mengadakan perdamaian sendiri dengan meninggalkan mukmin lainnya dalam keadaan perang di jalan Allah. Mereka harus sama dan adil adanya.

“Bahwa setiap orang yang berperang bersama kami, satu sama lain harus saling bergiliran.

“Bahwa orang-orang beriman itu harus saling membela terhadap sesamanya yang telah tewas di jalan Allah.

“Bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa hendaknya berada dalam pimpinan yang baik dan lurus.

“Bahwa orang tidak dibolehkan melindungi harta-benda atau jiwa orang Quraisy dan tidak boleh merintangi orang beriman.

“Bahwa barangsiapa membunuh orang beriman yang tidak bersalah dengan cukup bukti maka ia harus mendapat balasan yang setimpal kecuali bila keluarga si terbunuh sukarela (menerima tebusan).

“Bahwa orang-orang yang beriman harus menentangnya semua dan tidak dibenarkan mereka hanya tinggal diam.

“Bahwa seseorang yang beriman yang telah mengakui isi piagam ini dan percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, tidak dibenarkan menolong pelaku kejahatan atau membelanya, dan bahwa barangsiapa yang menolongnya atau melindunginya, ia akan mendapat kutukan dan murka Allah pada hari kiamat, dan tak ada sesuatu tebusan yang dapat diterima.

“Bahwa bilamana diantara kamu timbul perselisihan tentang sesuatu masalah yang bagaimanapun, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan kepada Muhammad – ‘alaihishshalatu wassalam.

“Bahwa orang-orang Yahudi harus mengeluarkan belanja bersama-sama orang-orang beriman selama mereka masih dalam keadaan perang.

“Bahwa orang-orang Yahudi Banu Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Orang-orang Yahudi hendaknya berpegang pada agama mereka, dan orang-orang Islampun hendaknya berpegang pada agama mereka pula, termasuk pengikut-pengikut mereka dan diri mereka sendiri, kecuali orang yang melakukan perbuatan aniaya dan durhaka. Orang semacam ini hanyalah akan menghancurkan dirinya dan keluarganya sendiri.

“Bahwa terhadap orang-orang Yahudi Banu’n-Najjar, Yahudi Banu’l-Harith, Yahudi Banu Sa’ida, Yahudi Banu-Jusyam, Yahudi Banu Aus, Yahudi Banu Tha’laba, Jafna dan Banu Syutaiba5 berlaku sama seperti terhadap mereka sendiri.

“Bahwa tiada seorang dari mereka itu boleh keluar kecuali dengan ijin Muhammad s.a.w.

“Bahwa seseorang tidak boleh dirintangi menuntut haknya karena dilukai; dan barangsiapa yang diserang ia dan keluarganya harus berjaga diri, kecuali jika ia menganiaya. Bahwa Allah juga yang menentukan ini.

“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri dan kaum Musliminpun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri pula. Antara mereka harus ada tolong menolong dalam menghadapi orang yang hendak menyerang pihak yang mengadakan piagam perjanjian ini.

“Bahwa mereka sama-sama berkewajiban, saling nasehat-menasehati dan saling berbuat kebaikan dan menjauhi segala perbuatan dosa.

“Bahwa seseorang tidak dibenarkan melakukan perbuatan salah terhadap sekutunya, dan bahwa yang harus ditolong ialah yang teraniaya.

“Bahwa orang-orang Yahudi berkewajiban mengeluarkan belanja bersama orang-orang beriman selama masih dalam keadaan perang.

“Bahwa kota Yathir adalah kota yang dihormati bagi orang yang mengakui perjanjian ini.

“Bahwa tetangga itu seperti jiwa sendiri, tidak boleh diganggu dan diperlakukan dengan perbuatan jahat.

“Bahwa tempat yang dihormati itu tak boleh didiami orang tanpa ijin penduduknya.

“Bahwa bila diantara orang-orang yang mengakui perjanjian ini terjadi suatu perselisihan yang dikuatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah -s.a.w. – dan bahwa Allah bersama orang yang teguh dan setia memegang perjanjian ini

“Bahwa melindungi orang-orang Quraisy atau menolong mereka tidak dibenarkan.

“Bahwa antara mereka harus saling membantu melawan orang yang mau menyerang Yathrib ini. Tetapi apabila telah diajak berdamai maka sambutlah ajakan perdamaian itu.

“Bahwa apabila mereka diajak berdamai, maka orang-orang yang beriman wajib menyambutnya, kecuali kepada orang yang memerangi agama. Bagi setiap orang, dari pihaknya sendiri mempunyai bagiannya masing-masing.

“Bahwa orang-orang Yahudi Aus, baik diri mereka sendiri atau pengikut-pengikut mereka mempunyai kewajiban seperti mereka yang sudah menyetujui naskah perjanjian ini dengan segala kewajiban sepenuhnya dari mereka yang menyetujui naskah perjanjian ini.

“Bahwa kebaikan itu bukanlah kejahatan dan bagi orang yang melakukannya hanya akan memikul sendiri akibatnya. Dan bahwa Allah bersama pihak yang benar dan patuh menjalankan isi perjanjian ini

“Bahwa orang tidak akan melanggar isi perjanjian ini, kalau ia bukan orang yang aniaya dan jahat.

“Bahwa barangsiapa yang keluar atau tinggal dalam kota Medinah ini, keselamatannya tetap terjamin, kecuali orang yang berbuat aniaya dan melakukan kejahatan.

“Sesungguhnya Allah melindungi orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa.”

Inilah dokumen politik yang telah diletakkan Muhammad sejak seribu tiga ratus lima puluh tahun yang lalu dan yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Ia telah membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia masa itu. Dunia, yang selama ini hanya menjadi permainan tangan tirani, dikuasai oleh kekejaman dan kehancuran semata. Apabila dalam penandatanganan dokumen ini orang-orang Yahudi Banu Quraiza, Banu’n-Nadzir dan Banu Qainuqa tidak ikut serta, namun tidak selang lama sesudah itu merekapun mengadakan perjanjian yang serupa dengan Nabi.

Demikianlah, seluruh kota Medinah dan sekitarnya telah benar-benar jadi terhormat bagi seluruh penduduk. Mereka berkewajiban mempertahankan kota ini dan mengusir setiap serangan yang datang dari luar. Mereka harus bekerja sama antara sesama mereka guna menghormati segala hak dan segala macam kebebasan yang sudah disetujui bersama dalam dokumen ini

Muhammad sudah cukup merasa lega dengan hasil demikian ini. Kaum Musliminpun merasa tenteram menjalankan kewajiban agama mereka, baik dalam berjamaah ataupun sendiri-sendiri.

Perkawinan Muhammad Dengan Aisyah

Mereka tidak lagi kuatir ada gangguan atau akan takut difitnah. Ketika itulah Muhammad menyelesaikan perkawinannya dengan Aisyah bt. Abi Bakr, yang waktu itu baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Ia adalah seorang gadis yang lemah-lembut dengan air muka yang manis dan sangat disukai dalam pergaulan. Ketika itu ia sedang menjenjang remaja puteri, mempunyai kegemaran bermain-main dan bersukaria. Pertumbuhan badannya baik sekali.

Pertama ia pindah ke tempatnya yang sekarang di samping tempat Sauda di sisi mesjid, ia melihat Muhaminad adalah seorang ayah yang penuh kasih-sayang, seorang suami yang penuh cintakasih. Ia tidak keberatan ikut bermain-main dengan barang-barang mainannya itu. Dengan itu Aisyah telah menghiburnya pula dari pikiran yang berat-berat yang selalu menjadi bebannya karena suasana politik Yathrib yang kini sudah mulai diarahkan dengan sebaik-baiknya itu.

Zakat dan Puasa

Dalam suasana kaum Muslimin yang sudah mulai tenteram menjalankan tugas-tugas agama itu, pada waktu itu kewajiban zakat dan puasa mulai pula dijalankan hukumnya. Di Yathrib inilah Islam mulai menemukan kekuatannya. Ketika Muhammad sampai di Medinah, bila ketika itu waktu-waktu shalat sudah tiba, orang berkumpul bersama-sama tanpa dipanggil. Lalu terpikir akan memanggil orang bersembahyang dengan mempergunakan terompet seperti orang-orang Yahudi. Tetapi dia tidak menyukai terompet itu. Lalu dianjurkan mempergunakan genta, yang akan dipukul waktu shalat, seperti dilakukan oleh orang-orang Nasrani.

Tetapi kemudian sesudah ada saran dari Umar dan sekelompok Muslimim – menurut satu sumber, – atau dengan perintah Tuhan melalui wahyu, menurut sumber lain – penggunaan genta inipun dibatalkan dan diganti dengan azan. Selanjutnya diminta kepada Abdullah b. Zaid b. Tha’laba:

“Kau pergi dengan Bilal dan bacakan kepadanya – maksudnya teks azan – dan suruh dia menyerukan azan itu, sebab suaranya lebih merdu dari suaramu.”

Azan Shalat

Di samping mesjid ada sebuah rumah kepunyaan seorang wanita dari Banu’n-Najjar yang lebih tinggi dari mesjid. Bilal naik keatas rumah itu lalu menyerukan azan. Dengan demikian, setiap hari di waktu fajar seluruh penduduk Yathrib mendengar seruan bersembahyang itu diucapkan dengan alunan suara yamg indah dan lembut sekali, yang ditujukan Bilal ke segenap penjuru, dan menggema ke telinga pendengarnya:

“Allahu Ahbar! Allahu Akbar! Asyhadu an la ilaha illa Allah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayy ‘ala’ sh-shala hayy ‘ala’l-falah. Allahu Akbar. Allahu Akbar. La ilaha illa Allah.” (Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! Aku bersaksi tak ada tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah. Marilah shalat. Marilah mencapai kemenangan. Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Tak ada tuhan selain Allah).

Dengan demikian ini rasa takut yang selama ini membayangi kaum Muslimin telah berubah jadi aman dan tenteram. Yathrib kini telah menjadi Madinat’r-Rasul – menjadi Kota – Rasulullah. Penduduk kota ini yang bukan Islam sudah pula merasakan adanya kekuatan kaum Muslimin – suatu kekuatan yang bersumber dari lubuk hati yang sudah mengenal pengorbanan, yang sudah mengalami pelbagai macam penderitaan, demi membela iman. Kini mereka memetik buahnya, buah kesabaran dan ketabahan hati. Mereka merasakan adanya kebebasan beragama yang telah ditentukan Islam itu dan bahwa tidak ada kekuasaan seseorang atas manusia lain, dan bahwa agama hanya bagi Allah semata, hanya kepadaNya adanya pengabdian itu. Di hadapan Tuhan semua manusia itu sama. Balasan yang akan mereka terima sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan dan dengan niat yang telah mendorong perbuatan itu.

Sekarang jalan sudah terbuka di hadapan Muhammad dalam menyebarkan ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah pribadinya dan segala tingkah lakunya yang akan menjadi teladan tertinggi dalam ajaran-ajarannya itu. Dan biarlah ini pula yang akan menjadi batu pertama dalam pembinaan peradaban Islam.

Batu pertama ini ialah persaudaraan umat manusia: persaudaraan yang akan mengakibatkan seseorang tidak sempurna imannya sebelum ia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri dan sebelum persaudaraan demikian itu dapat mencapai kebaikan dan rasa kasih-sayang tanpa suatu sikap lemah dan mudah menyerah. Ada orang yang bertanya kepada Muhammad; “Perbuatan apakah yang baik dalam Islam?” Dijawab: “Sudi memberi makan dan memberi salam kepada orang yang kaukenal dan yang tidak kaukenal.”

Teladan dan Ajaran-ajaran Muhammad

Dalam khutbah pertama yang diucapkannya di Medinah ia berkata: “Barangsiapa yang dapat melindungi mukanya dari api neraka sekalipun hanya dengan sebutir kurma, lakukanlah itu. Kalau itupun tidak ada, maka dengan kata-kata yang baik. Sebab dengan itu, kebaikan itu mendapat balasan sepuluh kali lipat.” Dan dalam khutbahnya yang kedua dikatakannya: “Beribadatlah kamu sekalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukanNya dengan apapun. Benar-benar takutlah kamu kepadaNya. Hendaklah kamu jujur terhadap Allah tentang apa yang kamu katakan baik itu; dan dengan ruh Allah hendaklah kamu sekalian saling cinta-mencintai. Allah sangat murka kepada orang yang melanggar janjinya sendiri.”

Dengan kata-kata ini dan yang semacam ini ia berbicara dengan sahabat-sahabatnya itu, ia berkhutbah di mesjid kepada orang banyak, sambil bersandar pada batang pohon kurma yang dijadikan penopang atap mesjid itu, yang kemudian lalu disuruh buatkan mimbar terdiri dari tiga tangga. Waktu menyampaikan khutbah ia berdiri pada tangga pertama, dan pada tingkat tangga kedua di waktu ia duduk.

Bukan hanya kata-katanya itu saja yang menjadi sendi ajaran adanya persaudaraan demikian itu, yang dalam peradaban Islam merupakan bagian yang penting sekali, melainkan juga perbuatannya serta teladan yang diberikannya adalah contoh persaudaraan dalam bentuknya yang benar-benar sempurna. Dia adalah Rasulullah – Utusan Allah; tapi tidak mau ia menampakkan diri dalam gaya orang berkuasa, atau sebagai raja atau pemegang kekuasaan duniawi. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: “Jangan aku dipuja, seperti orang-orang Nasrani memuja anak Mariam. Aku adalah hamba Allah. Sebutkan sajalah hamba Allah dan RasulNya.”

Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabat-sahabatnya sambil bertelekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Tapi dia berkata: “Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.

Apabila ia mengunjungi sahabat-sahabatnya iapun duduk dimana saja ada tempat yang terluang. Ia bergurau dengan sahabat-sahabatnya, bergaul dengan mereka, diajaknya mereka bercakap-cakap, anak-anak merekapun diajaknya bermain-main dan didudukkannya mereka itu dipangkuannya. Dipenuhinya undangan yang datang dari orang merdeka atau dari si budak dan si miskin. Dikunjunginya orang yang sedang sakit, yang jauh tinggal di sana, di ujung kota. Orang yang datang minta maaf dimaafkannya. Dan ia yang memulai memberi salam kepada orang yang dijumpainya. Ia yang lebih dulu mengulurkan tangan menjabat sahabat-sahabatnya. Apabila ada orang yang menunggu ia sedang salat, dipercepatnya shalatnya lalu ditanyanya orang itu akan keperluannya. Sesudah itu kembali lagi ia meneruskan ibadatnya. Baik hati ia kepada setiap orang dan selalu senyum. Dalam rumah-tangga, ia ikut memikul beban keluarga: ia mencuci pakaian, menambalnya dan memerah susu kambing. Ia juga yang menjahit terompahnya, menolong dirinya sendiri dan mengurus unta. Ia duduk makan bersama dengan bujang, ia juga mengurus keperluan orang yang lemah, yang menderita dan orang miskin. Apabila ia melihat seseorang yang sedang dalam kebutuhan ia dan keluarganya mengalah, sekalipun mereka sendiri dalam kekurangan, tak ada sesuatu yang disimpannya untuk besok; sehingga tatkala ia wafat, baju besinya sedang tergadai di tangan seorang Yahudi – karena untuk keperluan belanja keluarganya. Sangat rendah hati ia, selalu memenuhi janji. Tatkala ada sebuah delegasi dari pihak Najasi datang, dia sendiri yang melayani mereka, sehingga sahabat-sahabat menegurnya:

“Sudah cukup ada yang lain,” kata sahabat-sahabatnya itu.

“Mereka sangat menghormati sahabat-sahabat kita,” katanya. “Saya ingin membalas sendiri kebaikan mereka.”

Begitu setianya ia, sehingga bila ada orang menyebut nama Khadijah, selalu menimbulkan kenangan yang indah baginya. Di sinilah Aisyah berkata: “Saya tidak pernah iri hati terhadap seorang wanita seperti terhadap Khadijah, bilamana saja mendengar ia mengenangkannya.” Ketika ada seorang wanita datang ia menyambutnya begitu gembira dan ditanyainya baik-baik. Bila wanita itu sudah pergi, ia berkata: “Ketika masih ada Khadijah ia suka mengunjungi kami.” Bahwa mengingat hubungan baik masa lampau adalah termasuk iman. Begitu halusnya perasaannya, begitu lembutnya hatinya, ia membiarkan cucunya bermain-main dengan dia ketika ia shalat. Bahkan ia bersembahyang dengan Umama, puteri Zainab puterinya, sambil dibawa di atas bahunya; bila ia sujud diletakkan, bila ia berdiri dibawanya lagi.

Kebaikan dan kasih-sayang yang sudah menjadi sendi persaudaraan itu, yang dalam peradaban dunia modern sekarang juga menjadi dasar bagi seluruh umat manusia tidak hanya terbatas sampai di situ saja, melainkan melampaui sampai kepada binatang juga. Dia sendiri yang bangun membukakan pintu untuk seekor kucing yang sedang berlindung di tempat itu. Dia sendiri yang merawat seekor ayam jantan yang sedang sakit; kudanya dielus-elusnya dengan lengan bajunya. Bila dilihatnya Aisyah naik seekor unta, karena menemui kesukaran lalu binatang itu ditarik-tariknya, iapun ditegurnya: “Hendaknya kau berlaku lemah-lembut.” Kasih-sayangnya itu meliputi segala hal, dan selalu memberi perlindungan kepada siapa saja yang memerlukannya.

Tetapi ini bukan sikap kasih-sayang karena lemah atau mau menyerah, juga bersih dari segala sifat mau menghitung jasa atau sikap tinggi diri. Ini adalah persaudaraan dalam Tuhan antara Muhammad dengan semua mereka yang berhubungan dengan dia. Disinilah dasar peradaban Islam yang berbeda dengan sebahagian besar peradaban-peradaban lain. Islam menekankan pada keadilan disamping persaudaraan itu, dan berpendapat bahwa tanpa adanya keadilan ini persaudaraan tidak mungkin ada.

“Barangsiapa menyerang kamu, seranglah dengan yang seimbang, seperti mereka menyerang kamu.” (Qur’an, 2: 194)

“Dengan hukum qishash berarti kelangsungan hidup bagi kamu, hai orang-orang yang mengerti.” (Qur’an, 2: 179)

Sifatnya harus untuk mempertahankan jiwa semata-mata dengan kemauan yang bebas sepenuhnya dan untuk mencari rida Tuhan tanpa ada maksud lain. Itulah sumber persaudaraan yang meliputi segala kebaikan dan kasih-sayang. Ini harus bersumber juga dari jiwa yang kuat, tidak mengenal menyerah selain kepada Allah, dan dengan ketaatan kepadaNya ia tidak pula merasa lemah. Tak ada rasa takut akan menyelinap ke dalam hatinya kecuali dari perbuatan maksiat atau dosa yang dilakukannya. Dan jiwa itu tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan yang lain dan tidak akan jadi kuat kalau ia masih di bawah kekuasaan hawa-nafsunya. Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah hijrah dari Mekah supaya jangan berada di bawah kekuasaan Quraisy dan jangan ada jiwa mereka yang akan jadi lemah karenanya. Jiwa itu akan menyerah kepada kekuasaan hawa-nafsu kalau sudah jasmani yang dapat berkuasa kedalam rohani dan akal pikiran dapat dikalahkan oleh kehendak nafsu. Dan akhirnya kehidupan materi ini juga yang dapat menguasai hidup kita, padahal kita sudah tidak memerlukan yang demikian, sebab ini memang sudah berada di bawah kekuasaan kita.

Di sini Muhammad adalah contoh kekuatan jiwa yang ideal sekali atas kehidupan ini, suatu kekuatan yang membuat dia sudah tidak peduli lagi akan memberikan segala yang ada padanya kepada orang lain. Itu sebabnya sampai ada orang yang mengatakan: Dalam memberi Muhammad sudah tidak takut kekurangan. Dan supaya jangan ada sesuatu dalam hidup ini yang dapat menguasainya, sebaliknya dia yang harus menguasai, maka ia keras sekali menahan diri dalam arti hidup materi, sama kerasnya dengan keinginannya hendak mengetahui segala rahasia yang ada dalam hidup materi itu, ingin mengetahui hakekat sesungguhnya tentang semua itu. Begitu jauhnya ia menahan diri sehingga lapik tempat dia tidur hanya terdiri dari kulit yang diisi dengan serat. Makannya tak pernah kenyang. Tak pernah ia makan roti dari tepung sya’ir6 dua hari berturut-turut. Sebagian besar makannya adalah bubur7. Pada hari-hari yang lain ia makan kurma. Jarang sekali ia dan keluarganya dapat makanan roti sop8. Bukan sekali saja ia harus menahan lapar. Sudah pernah perutnya diganjal dengan batu untuk menahan teriakan rongga pencernaannya itu.

Itulah yang sudah biasa dikenal tentang makannya, meskipun ini tidak berarti ia pantang sekali-sekali makan makanan yang enak-enak. Juga ia dikenal suka sekali makan kaki anak kambing, labu, madu dan manisan.

Begitu juga kesederhanaannya dalam hal pakaian sama seperti dalam makanan. Suatu hari ada seorang wanita memberikan sehelai pakaian kepadanya yang memang diperlukan. Tetapi kemudian diminta oleh orang lain yang juga memerlukannya guna mengkafani mayat. Pakaian itu diberikannya. Pakaiannya yang dikenal terdiri dari sebuah baju dalam dan baju luar, yang terbuat dari wol, katun atau sebangsa serat. Tetapi sekali-sekali ia tidak menolak memakai pakaian dari tenunan Yaman sebagai pakaian yang mewah sesuai dengan acara bila memang menghendaki demikian. Juga alas kaki yang dipakainya sederhana sekali. Tak pernah ia memakai sepatu selain waktu mendapat hadiah dari Najasyi berupa sepasang sepatu dan seluar.

Sungguhpun begitu dalam hal menahan diri dan menjauhi masalah duniawi bukanlah berarti ia hidup menyiksa diri. Cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama. Dalam Qur’an dapat dibaca:

“Makanlah dari makanan yang baik yang sudah Kami berikan kepadamu.” (Qur’an, 2: 57)

“Dan tempuhlah kebahagiaan akhirat seperti yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi juga jangan kaulupakan kebahagiaan hidup duniawi. Dan berbuatlah kebaikan kepada orang lain seperti Allah telah berbuat baik kepadamu.” (Qur’an, 28: 77)

Dan dalam hadis: “Berbuatlah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selama-lamanya, dan berbuat pula untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok.”

Akan tetapi Muhammad ingin memberikan teladan yang begitu tinggi kepada manusia tentang arti kekuatan dalam menghadapi hidup itu, suatu kekuatan yang tak dapat dipengaruhi oleh perasaan lemah, tak dapat diperbudak oleh kekayaan, oleh harta-benda, oleh kekuasaan atau oleh apa saja yang akan menguasainya, selain Allah. Persaudaraan yang didasarkan kepada kekuatan, yang manifestasinya telah diberikan oleh Muhammad sebagai teladan tertinggi seperti yang sudah kita lihat itu, adalah persaudaraan murni yang sungguh ikhlas dan mulia, suatu persaudaraan yang bersih samasekali. Sebabnya ialah karena adanya rasa keadilan yang terjalin dalam kasih-sayang dan karena yang bersangkutan hanya didorong oleh kemauan sendiri yang bebas mutlak. Tetapi, oleh karena Islam menyertakan rasa keadilan disamping rasa kasih-sayang itu, maka ia juga menyertakan maaf disamping keadilan itu, maaf yang dapat diberikan bila mampu. Rasa kasih-sayang demikian itu hendaklah dengan hati terbuka dan benar-benar, dan hendaklah dengan tujuan mau mencapai perbaikan yang sungguh-sungguh.

Inilah dasar yang telah diletakkan oleh Muhammad dalam membangun peradaban baru itu, yang dengan jelas tersimpul dalam cerita yang diambil dari Ali bin Abi Talib ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang sunahnya, dengan dijawab: “Ma’rifat adalah modalku, akal-pikiran sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawan dekatku, keteguhan perbendaharaanku, duka adalah kawanku, ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku, faqr adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan makananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihad perangaiku dan hiburanku adalah dalam shalat.”

Kuatnya Agama Baru dan Takutnya Pihak Yahudi

Ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan bimbingan yang diberikannya telah meninggalkan pengaruh yang dalam sekali kedalam jiwa orang, sehingga tidak sedikit orang yang berdatangan menyatakan masuk Islam, dan kaum Musliminpun makin bertambah kuat di Medinah. Ketika itulah orang-orang Yahudi mulai memikirkan kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka dengan dia telah mengadakan perjanjian. Mereka bermaksud ingin merangkulnya ke pihak mereka dan supaya ketahanan mereka bertambah kuat terhadap orang-orang Kristen. Dan dia lebih kuat dari mereka itu semua, ajarannya bertambah kuat. Malah sekarang ia memikirkan orang-orang Quraisy yang telah mengusirnya dan mengusir kaum Muhajirin dari Mekah serta godaan mereka terhadap kaum Muslimin yang dapat mereka goda dari agamanya. Adakah orang-orang Yahudi itu akan membiarkan dakwahnya terus tersebar dan kekuasaan rohaninya makin meluas, dengan cukup puas berada disampingnya dalam aman sentosa yang berarti akan menarnbah keuntungan dan kekayaan dalam perdagangan mereka? Barangkali memang akan begitu kalau mereka yakin bahwa dakwahnya itu tidak akan sampai kepada orang-orang Yahudi sendiri dan tidak akan sampai meluas kepada orang-orang awam, sedang ajaran mereka yang berlaku ialah tidak akan mengakui adanya seorang nabi yang bukan dari Keluarga Israil.

Akan tetapi ada seorang rabbi yang cerdik-pandai, yaitu Abdullah b. Sallam yang telah berhubungan dengan Nabi iapun lalu memeluk Islam; dan dianjurkannya pula keluarganya. Lalu merekapun bersama-sama memeluk agama Islam.

Tetapi Abdullah bin Sallam masih merasa kuatir akan ada kata-kata yang tidak biasa yang akan dilontarkan orang-orang Yahudi jika mereka mengetahui ia sudah menganut Islam. Maka dimintanya kepada Nabi untuk menanyai mereka tentang dirinya itu sebelum mereka mengetahui bahwa dia sudah Islam. Ternyata mereka berkata: dia pemimpin kami, pendeta kami dan orang cerdik-pandai kami. Setelah Abdullah berhadapan dengan mereka dan sekarang jelas sudah sikapnya, bahkan mengajak mereka menganut ajaran Islam, merekapun merasa kuatir akan nasibnya itu nanti. Maka di seluruh perkampungan Yahudi itu iapun mulai difitnah dan diumpat dengan kata-kata yang tak senonoh. Dalam hal ini mereka lalu sepakat akan berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Secepat itu pula sisa-sisa orang yang masih musyrik dari kalangan Aus dan Khazraj serta mereka yang pura-pura masuk Islam segera menggabungkan diri dengan mereka, baik karena mau mengejar keuntungan materi atau karena mau menyenangkan golongannya atau pihak yang berpengaruh

Sekarang mulai terjadi suatu perang polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi, yang ternyata lebih bengis dan lebih licik daripada perang polemik yang dulu pernah terjadi antara dia dengan orang-orang Quraisy di Mekah. Dalam perang yang terjadi di Yathrib ini semua orang Yahudi berdiri dalam satu barisan menyerang Muhammad dan risalahnya, menyerang sahabat-sahabatnya, kaum Muhajirin dan Anshar, dengan mengadakan intrik-intrik, tindakan bermuka-muka dengan ilmu yang ada pada mereka tentang sejarah dan peristiwa-peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul-rasul.

Mereka mengadakan intrik melalui pendeta-pendeta mereka yang pura-pura Islam dan yang dapat bergaul ke tengah-tengah kaum Muslimin dengan pura-pura sangat takwa sekali, yang kemudian lalu sekali-kali memperlihatkan kesangsian dan keraguannya. Mereka itu memajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Muhammad, yang mereka kira akan dapat menggoncangkan iman umat Islam kepadanya dan kepada ajaran kebenaran yang dibawanya itu. Kemudian orang-orang Aus dan Khazraj yang juga Islamnya pura-pura, menggabungkan diri dengan orang-orang Yahudi dalam memajukan pertanyaan-pertanyaan dan dalam menimbulkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin. Begitu keras kepala mereka itu sampai ada diantara orang Yahudi sendiri yang mengingkari isi Taurat – padahal mereka percaya kepada Allah, baik kalangan Keluarga Israil maupun orang-orang musyrik yang mempergunakan berhala-berhala untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Misalnya mereka bertanya kepada Muhammad: Kalau Allah itu sudah menciptakan makhluk ini, lalu siapa yang menciptakan Allah? Muhammad hanya menjawab mereka dengan firman Tuhan:

“Katakan: Allah Satu cuma. Allah itu Abadi dan Mutlak. Tidak beranak. Dan tidak pula diperanakkan. Dan tiada satu apapun yang menyerupaiNya.” (Qur’an, 112: 1-4)

Pihak Muslimin sekarang menyadari keadaan musuh mereka, sudah mengetahui tujuan usaha mereka itu. Ada terlihat pada suatu hari mereka dalam mesjid sedang berbicara antara sesama mereka dengan berbisik-bisik. Muhammad meminta supaya mereka dikeluarkan dari dalam mesjid itu dengan paksa. Tetapi ini tidak membuat mereka jera melakukan tipu-muslihat dan masih terus berusaha hendak menjerumuskan kaum Muslimin. Ketika ada beberapa orang dari golongan Aus dan Khazraj sedang duduk-duduk bersama-sama salah seorang dari mereka [Syas b. Qais] lewat. Ia jadi panas hati melihat dua puak ini menjadi rukun. Dalam hatinya ia berkata: masyarakat Banu Qaila di negeri ini sudah bersatu. Kita takkan berarti apa-apa kalau pemuka-pemuka mereka sudah sepakat. Seorang pemuda Yahudi yang pernah dengan mereka dulu dimintanya supaya mengambil kesempatan ini dengan menyebut-nyebut kembali peristiwa Bu’ath dahulu serta bagaimana pula pihak Aus dapat mengalahkan Khazraj. Pemuda itu pun lalu bicara. Ternyata hal ini memang menimbulkan ingatan masa lampau pada kedua puak itu. Mereka lalu bersitegang, saling membanggakan diri dan hanyut dalam pertengkaran. “Kalau kamu mau kita boleh kembali seperti dulu,” kata mereka satu sama lain.

Peristiwa ini sampai juga kepada Muhammad. Ia pergi menemui mereka dengan beberapa orang sahabat, dan diingatkannya mereka, bahwa Islam telah mempersatukan dan membuat mereka benar-benar bersaudara, saling mencintai. Sementara ia masih di tengah-tengah mereka, merekapun menangis, mereka saling berpeluk-pelukan. Mereka semua berdoa bermohon ampun kepada Tuhan.

Polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu sudah sampai dipuncaknya, sebagaimana oleh Qur’an sudah pula diperlihatkan. Pada permulaan Surah al-Baqara (2) sampai dengan ayat 81, dan sebahagian besar Surah an-Nisa’ (4) semua menyebutkan tentang orang-orang Ahli Kitab itu dan betapa mereka mengingkari isi-Kitab Suci mereka sendiri. Mereka telah mendapat kutukan keras karena pembangkangan dan pengingkaran mereka itu:

“Dan sesungguhnyalah Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan sesudah itu lalu Kami susul pula dengan para rasul, dan Kami telah memberikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa anak Maryam dan Kami perkuat dia dengan Ruh Suci. Adakah setiap datang seorang rasul kepadamu membawa sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatimu, lalu kamu bersikap sombong? Sebagian kamu dustakan dan yang sebagian lagi kamu bunuh? Dan mereka berkata: ‘hati kami sudah tertutup.’ Tetapi Tuhan telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka juga. Karena itu, sedikit sekali mereka yang beriman. Dan setelah kepada mereka didatangkan Kitab dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka, karena sebelum itu mereka minta didatangkan kemenangan terhadap orang-orang yang masih ingkar, maka setelah yang mereka ketahui itu berada di tengah-tengah mereka, merekapun juga tidak mempercayainya. Karena itu, kutukan Allah menimpa orang-orang yang ingkar itu.” (Qur’an, 2: 87-89)

Begitu memuncaknya polemik antara orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin itu, sehingga acapkali – sekalipun sudah ada perjanjian antara mereka – permusuhan itu terjadi sampai dengan main tangan. Sebagai contoh – sekedar sebagai ukuran – kita sudah mengenal Abu Bakr, yang begitu lemah-lembut perangainya, dengan kesabarannya yang luarbiasa. Ketika itu ia sedang bicara dengan seorang orang Yahudi yang bernama Finhash, yang diajaknya menganut Islam. Tetapi Finhash menjawab: “Abu Bakr, bukan kita yang membutuhkan Tuhan, tapi Dia yang butuh kepada kita. Bukan kita yang meminta-minta kepadaNya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak memerlukanNya, tapi Dia yang memerlukan kita. Kalau Dia kaya, tentu Ia tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini.”

Maksud Finhash ini ditujukan kepada firman Tuhan:

“Siapa yang mau meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, Allah akan selalu membalasnya dengan berlipat ganda.” (Qur’an, 2: 145)

Tetapi dalam hal ini Abu Bakr tidak tahan mendengar jawaban itu. Ia marah. Ditamparnya muka Finhash itu keras-keras.

“Demi Allah,” kata Abu Bakr, “kalau tidak karena adanya perjanjian antara kami dengan kamu sekalian, pasti kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan.”

Kemudian Finhash mengadukan peristiwa ini kepada Nabi, tapi apa yang dikatakannya tentang Tuhan kepada Abu Bakr tidak diakuinya. Dalam hal ini firman Tuhan menyebutkan:

“Tuhan sudah mendengar kata-kata mereka yang menyebutkan: Tuhan itu miskin, dan kamilah yang kaya. Akan Kami tuliskan kata-kata mereka itu, begitu juga perbuatan mereka membunuh nabi-nabi dengan tidak sepantasnya, dan rasakanlah siksa yang membakar ini!” (Qur’an, 3: 181)

Tidak cukup dengan maksud mau menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan antara Aus dengan Khazraj dan tidak pula cukup dengan membujuk kaum Muslimin supaya meninggalkan agamanya dan kembali menjadi syirik tanpa mencoba-coba mengajak mereka menganut agama Yahudi, bahkan lebih dari itu orang Yahudi itu kini berusaha memperdaya Muhammad sendiri. Pendekar-pendekar mereka, pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin mereka datang menemuinya dengan mengatakan: “Tuhan sudah mengetahui keadaan kami, kedudukan kami. Kalau kami mengikut tuan, orang-orang Yahudipun akan juga ikut dan mereka tidak akan menentang kami. Sebenarnya antara kami dengan beberapa kelompok golongan kami timbul permusuhan. Lalu kami datang ini minta keputusan tuan. Berilah kami keputusan. Kami akan ikut tuan dan percaya kepada tuan.”

Di sinilah firman Tuhan menyebutkan:

“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang sudah diturunkan Allah, dan jangan kauturuti hawa-nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap mereka. Jangan sampai mereka memperdayakan kau dari beberapa peraturan yang sudah ditentukan Tuhan kepadamu. Tetapi kalau mereka menyimpang, ketahuilah, Tuhan akan menurunkan bencana kepada mereka karena beberapa dosa mereka sendiri juga. Sesungguhnya, kebanyakan manusia itu adalah orang-orang fasik. Adakah yang mereka kehendaki itu hukum jahiliah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang yakin?” (Qur’an, 5: 49-50)

Kiblat Dari Al-Masjid’l-Aqsha Dialihkan Ke Al-Masjid’l-Haram

Orang-orang Yahudi merasa sesak napas terhadap Muhammad. Terpikir oleh mereka akan melakukan tipu-daya terhadapnya, akan meyakinkannya sampai ia keluar meninggalkan Medinah seperti yang terjadi karena gangguan-gangguan Quraisy dahulu sampai ia dan sahabat-sahabatnyapun keluar meninggalkan Mekah.

Lalu mereka mengatakan kepadanya, bahwa para rasul sebelum dia semua pergi ke Bait’l-Maqdis dan memang di sana tempat tinggal mereka. Jika dia juga memang benar-benar seorang rasul, iapun akan berbuat seperti mereka, dan kota Medinah ini akan dianggapnya sebagai kota perantara dalam hijrahnya dulu antara Mekah dengan al-Masjid’l-Aqsha. Akan tetapi, apa yang sudah mereka kemukakan kepadanya itu bagi Muhammad tidak perlu lama-lama berpikir untuk mengetahui, bahwa mereka sedang melakukan tipu-muslihat terhadap dirinya. Pada saat itu Tuhan mewahyukan kepadanya, menjelang tujuhbelas bulan ia tinggal di Medinah, untuk menghadapkan kiblatnya ke al-Masjid’l-Haram, Rumah Ibrahim dan Ismail:

“Kami sebenarnya melihat wajahmu yang menengadah ke langit itu. Akan Kami hadapkan mukamu ke arah kiblat yang kausukai. Hadapkan mukamu ke arah al-Masjid’l-Haram. Dimana saja kau berada hadapkanlah mukamu kearah itu.” (Qur’an, 2: 142-143)

Orang-orang Yahudi ternyata menyesalkan kejadian itu. Sekali lagi mereka berusaha memperdayakannya, dengan mengatakan, bahwa mereka akan mau jadi pengikutnya kalau ia kembali ke kiblat semula. Di sini firman Tuhan menyebutkan:

“Dari orang-orang yang masih bodoh akan mengatakan: Apakah yang menyebabkan mereka berpaling dari kiblat yang dulu. Katakanlah: Timur dan Barat itu kepunyaan Allah. DipimpinNya siapa yang disukaiNya ke jalan yang lurus. Begitu juga Kami jadikan kamu suatu umat pertengahan, supaya kamu menjadi saksi kepada umat manusia, dan Rasulpun menjadi saksi kepadamu. Dan Kami jadikan kiblat yang biasa kaupergunakan itu, hanyalah untuk menguji siapa pula yang berbalik belakang. Dan itu memang berat, kecuali bagi mereka yang telah mendapat pimpinan Tuhan.” (Qur’an, 2: 144)

Delegasi Nasrani Ke Medinah

Waktu sedang sengit-sengitnya terjadi polemik antara Muhammad dengan orang-orang Yahudi itu, delegasi pihak Nasrani dari Najran tiba di Medinah, terdiri dari enampuluh buah kendaraan. Diantara mereka terdapat orang-orang terkemuka, orang-orang yang sudah mempelajari dan menguasai seluk-beluk agama mereka. Pada waktu itu penguasa-penguasa Rumawi yang juga menganut agama Nasrani sudah memberikan kedudukan, memberikan bantuan harta, memberikan bantuan tenaga serta membuatkan gereja-gereja dan kemakmuran buat kaum Nasrani Najran itu. Boleh jadi delegasi ini datang ke Medinah hanya karena mereka sudah mengetahui adanya pertentangan antara Nabi dengan orang-orang Yahudi, dengan harapan mereka akan dapat mengobarkan pertentangan itu lebih hebat sampai menjadi permusuhan terbuka. Dengan demikian orang-orang Nasrani yang berada di perbatasan Syam dan Yaman dapat membebaskan diri dari intrik-intrik Yahudi dan sikap permusuhan orang-orang Arab.

Dengan datangnya delegasi ini dan polemiknya dengan Nabi serta dibukanya kancah pertarungan theologis yang sengit antara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam maka ketiga agama Kitab ini sekarang berkumpul. Dari pihak Yahudi, mereka memang menolak samasekali ajaran Isa dan Muhammad, yang dasarnya karena sikap keras kepala, seperti yang sudah kita lihat. Mereka mendakwakan bahwa ‘Uzair itu putera Allah. Sedang pihak Nasrani, paham mereka adalah Trinitas dan menuhankan Isa. Sebaliknya Muhammad, ia mengajak orang kepada keesaan Tuhan dan kepada kesatuan rohani yang sudah diatur oleh alam sejak awal yang ajali sampai pada akhir yang abadi – sejak dunia ini berkembang sampai ke akhir zaman. Orang-orang Yahudi dan Nasrani itu bertanya kepadanya, kepada siapa-siapa diantara para rasul itu ia beriman. Ia menjawab:

“Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkanNya kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub serta anak-cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang telah diberikan Tuhan kepada nabi-nabi. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kamipun patuh kepadaNya.” (Qur’an 2: 136)

Ia sangat menyesalkan sikap mereka yang sifatnya hendak menimbulkan keraguan dengan cara bagaimanapun tentang keesaan Tuhan. Diingatkannya mereka, bahwa mereka telah mengubah kata-kata dari aslinya dalam kitab-kitab mereka itu dan bahwa mereka ternyata berlainan haluan dari apa yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul-rasul yang sudah mereka akui kenabiannya, dan bahwa apa yang diajarkan oleh Isa, oleh Musa dan oleh mereka yang sudah terdahulu, sedikitpun tidak berbeda dari apa yang diajarkannya sekarang. Apa yang telah diajarkan mereka itu, adalah Kebenaran Abadi yang akan tampak jelas dan sederhana sekali bagi setiap orang yang berjiwa pantang tunduk selain kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ia akan melihat Alam ini sebagai suatu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Ia akan melihatnya dengan pandangan hati nurani yang lebih tinggi diatas segala kehendak dan tujuan yang bersifat sementara, di atas segala dorongan materi; lepas dari sifat tunduk buta kepada segala ilusi dan angan-angan orang awam, kepada yang diterimanya dari nenek-moyang mereka.

Pertemuan Tiga Agama Di Yathrib

Dimanakah ada suatu pertemuan yang hakekatnya lebih besar dari pertemuan yang kini dialami oleh Yathrib? Tiga agama bertemu di tempat ini, yang sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di tempat ini ketiganya bertemu untuk suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan dengan suatu tujuan materi, yang sampai saat ini dikejar-kejar dunia namun tiada juga berhasil – melainkan tujuannya adalah rohani semata-mata. Dalam hal Nasrani dan Yahudi ini, dibelakangnya berdiri ambisi-ambisi politik serta keinginan-keinginan orang-orang beruang dan berkuasa. Sebaliknya Muhammad, tujuannya adalah rohaniah dan perikemanusiaan semata-mata, yang jalannya telah ditunjukkan Tuhan kepadanya dengan bentuk kata yang dialamatkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani serta seluruh umat manusia. DikatakanNya kepada mereka:

“Katakanlah; ‘Orang-orang Ahli Kitab! Marilah kita menerima suatu istilah yang sama antara kami dengan kamu: bahwa tak ada yang akan kita sembah selain Allah, dan bahwa kita takkan mempersekutukanNya dengan apapun, dan tidak pula antara kita saling mempertuhankan satu sama lain, selain daripada Allah.’ Tetapi kalau mereka menyimpang juga, katakanlah: ‘Saksikanlah, bahwa kami ini orang-orang Muslimin.’” (Qur’an, 3: 64)

Apa pula yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Yahudi, yang akan dapat dikatakan oleh orang-orang Nasrani atau oleh yang lain, mengenai ajakan ini: Jangan menyembah apa dan siapapun selain Allah, jangan mempersekutukanNya dan jangan pula saling mempertuhankan satu sama lain selain daripada Allah! Bagi jiwa yang benar-benar jujur, jiwa manusia yang telah mendapat kehormatan dengan adanya akal pikiran dan perasaan, tidak bisa lain tentu akan beriman kepada ini, tanpa yang lain. Akan tetapi, dalam arti hidup manusia, disamping segi rohani, juga ada segi materinya. Kelemahan ini yang membuat kita dapat menerima pihak lain menguasai kita, dengan jalan membeli nyawa kita, jiwa kita, kalbu kita. Ilusi ini yang telah membunuh kehormatan, perasaan serta cahaya hati nurani manusia. Segi materi ini, yang tergambar dalam bentuk harta dan kekayaan, dalam kepalsuan gelar-gelar dan pangkat, yang telah membuat Abu Haritha – salah seorang Nasrani Najran yang paling luas ilmu dan pengetahuannya – pernah mengeluarkan isi hatinya kepada salah seorang teman, bahwa ia yakin pada apa yang dikatakan Muhammad itu. Setelah temannya itu bertanya:

“Apa lagi yang masih merintangi kau menerima ajarannya, kalau kau sudah mengetahui ini?”

“Yang masih merintangi aku ialah apa yang sudah diberikan orang kepada kami,” jawabnya. “Kami sudah diberi kedudukan, diberi harta dan kehormatan. Dan yang mereka kehendaki supaya kami menentangnya. Kalau kuterima ajakannya itu tentu semua yang kaulihat ini akan dicopot dari kami.”

Kepada ajaran inilah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu oleh Muhammad diajak. Orang-orang Nasrani diajaknya saling berdoa9, sedang dengan pihak Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian. Dalam pada itu pihak Kristen telah pula mengadakan permusyawaratan antara sesama mereka, yang hasilnya kemudian diberitahukan kepadanya, bahwa mereka tidak akan saling berdoa dan akan membiarkannya ia dengan agamanya itu dan mereka kembali kepada agama mereka. Tetapi mereka juga melihat, betapa cenderungnya Muhammad menjalankan keadilan itu, yang juga diikuti jejaknya oleh sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu mereka minta supaya ada seorang yang dapat dikirimkan bersama-sama mereka guna mengadili masalah-masalah yang bagi mereka sendiri masih merupakan perselisihan pendapat. Dalam hal ini Muhammad mengutus Abu ‘Ubaida ibn’l-Jarrah guna memutuskan hal-hal yang diperselisihkan itu.

Kaum Muslimin Mempertimbangkan Kedudukannya Terhadap Quraisy

Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin, bagaimana seharusnya sikap, dan keadaan mereka menghadapi Quraisy itu suatu pemikiran yang tak pernah mereka lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dari Mekah? Disana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Medinah, mereka diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka shalatpun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat bersabar terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan. Disamping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni nostalgia – rindu kampung halaman, kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya, airnya, dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Diatas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat-tinggal mereka sesudah mereka besar. Kesana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali kedalam tanah tempat ia dijadikan itu.

Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tigabelas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.

Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan, sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah-air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar ‘Aqaba yang kedua dengan penduduk Yathrib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah air, Mekah yang mereka cintai itu? Kearah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaranpun akan terjunjung tinggi.